![IMG_20220220_110906](https://i0.wp.com/mandarnews.com/wp-content/uploads/2022/02/IMG_20220220_110906.jpg?fit=1024%2C536&ssl=1)
Muh. Hasan, penjual gorengan yang mangkal di depan SD Negeri 1 Saleppa.
Majene, mandarnews.com – Sejumlah penjual gorengan di Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), mengeluhkan kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini.
Kelangkaan minyak mulai dirasakan oleh masyarakat dan pedagang sejak pemerintah memberlakukan satu harga di ritel modern dan pasar tradisional seluruh Indonesia.
Salah satu penjual gorengan, yang mengeluhkan kelangkaan minyak goreng di Majene adalah Muhammad Hasan.
Hasan mengaku, sejak diberlakukannya satu harga minyak goreng ia mulai merasakan kelangkaan ini.
“Hal ini membuat kami harus menggunakan minyak goreng yang tersedia yang harganya lebih di atas dari harga minyak biasanya,” ujar Hasan, Minggu (20/2).
Dengan penggunaan minyak goreng yang harganya lebih di atas membuat biaya produksi yang dikeluarkan lebih mahal sementara harga jual gorengan tetap distabilkan demi menjaga kelancaran pelanggan.
“Dulu sebelum satu harga, minyak goreng yang harga di bawah masih banyak dijumpai, sementara sekarang sejak diberlakukannya satu harga membuat ketersediaan minyak jadi sulit, sehingga mau tidak mau kita harus beli minyak harga lebih di atas,” tandas Hasan.
Ia merinci, sebelum dilakukannya satu harga oleh pemerintah, biasanya membeli minyak goreng 5 liter dengan harga Rp85.000,-. Namun, setelah dilakukannya subsidi, minyak goreng justru menjadi sulit dijumpai hingga membuat para pedagang gorengan ini beralih menggunakan minyak goreng yang lebih mahal karena barangnya siap.
“Niat pemerintah sebenarnya baik, melakukan satu harga dengan menyubsidi barang, khususnya minyak goreng ini karena harganya bisa lebih murah. Tapi nyatanya, hal ini justru membuat kelangkaan minyak, sementara penggunaan kita bisa dibilang hampir setiap hari. Yang tersedia hanya minyak yang tidak subsidi, yang harganya jauh lebih mahal,” kata Hasan.
Sekarang, harga minyak goreng yang digunakan jauh lebih mahal dengan harga Rp95.000 hingga Rp105.000,-.
“Memang harga minyak goreng setelah satu harga ini jauh lebih di bawah, hanya Rp65.000 untuk 5 liternya, tapi barang susah yang sama juga bohong,” tambah Hasan.
Ketika pemasukan pas-pasan dan minyak goreng yang harganya lebih mahal pun tidak dapat dibeli maka dengan terpaksa minyak curahlah menjadi solusinya.
“Mau gimana lagi, kita tidak bisa juga terus-terusan membeli minyak goreng yang harganya jauh lebih mahal karena kita berdagang ya cari untung juga. Jelasnya, kami berharap agar pemerintah bisa stabilkan ketersediaan minyak goreng kembali, itu solusi terbaik,” tukas Hasan.
Tidak hanya langkanya minyak goreng yang dikeluhkan oleh sejumlah pedagang, tapi juga naiknya harga kedelai yang berdampak pada ukuran tahu yang mereka terima dari perajin tahu.
“Tentu kurangnya ukuran tahu juga mempengaruhi omzet pendapatan, bahkan pembeli pun mengeluhkan hal itu. Tapi ya kami beri pemahaman agar mereka juga mengerti,” sebut Hasan.
Kelangkaan minyak goreng juga sangat dirasakan oleh perajin tahu di Majene. Muksin, salah satu perajin tahu menyampaikan, selain memproduksi tahu mentah, mereka juga memproduksi tahu goreng.
“Ini sekarang sepertinya kami dicekik karena serba salah, sudah kedelai mahal, minyak goreng juga langka,” ucap Muksin.
Padahal, mereka sudah memproduksi tahu yang lebih kecil dari ukuran normal, masa harus mengurangi lagi kuantitas tahu produksi.
“Mudah-mudahan pemerintah bisa melihat dan segera memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini,” tutup Muksin. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia