Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Sulawesi Barat, Cakdi Muliadi.
Mamuju, mandarnews.com – Sejak Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016, Penganut atau pengahayat kepercayaan secara resmi diakui negara sama kedudukannya di mata hukum maupun administrasi negara.
Meski begitu, hingga saat ini sosialiasi terkait hak penghayat kepercayaan yang merupakan pemegang teguh ajaran/agama leluhur Indonesia belum maksimal.
Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Sulawesi Barat, Cakdi Muliadi mengatakan, saat ini tercatat, ada empat aliran Penghayat Kepercayaan di Sulawesi Barat dengan jumlah kurang lebih 6.000 jiwa.
Meski begitu, baru 5.353 jiwa tercatat dalam catatan sipil yang mayoritas diisi oleh aliran Mappurondo dari wilayah tiga Kabupaten Mamasa.
“Di Mamasa ada dua penganut kepercayaan, yakni Mappurondo di wilayah tiga dan Alu To Dolo di Sumarorong dan Messawa, kemudian di Mamuju Tengah ada Sapto Dharmo, Budi Daya yang merupakan saudara-saudara kita transmigrasi dari Jawa. Mungkin masih ada yang yang tapi belum mendaftarkan diri ke MLKI Sulbar,” kata Muliadi.
Menurut Muliadi, sebagian Penganut Kepercayaan yang belum mencatatkan diri ke catatan sipil, dipengaruhi masih adanya keraguan pada diskriminasi sosial yang lama dirasakan sebelum keluarnya putusan MK 2016 silam.
“Sejak MLKI berdiri dan keluarnya putusan MK Nomor 97 tahun 2016 itu, masyakat penghayat kepercayaan (Mappurondo) sudah mulai terbuka dengan dunia luar, saat ini masyarakat sudah bisa mengakses layanan-layanan kesehatan dan pendidikan,” terang Muliadi
Melalui organisasi induknya MLKI, penghayat kepercayaan mendorong adanya regulasi untuk menerima akses pembelajaran agama pengahayat kepercayaan di setiap jenjang pendidikan.
Pada Focus Group Disscusion (FGD) dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Ditjen kebudayaan Kemendikbud Ristek) di Mamuju, siang tadi, Selasa, (25/7/23).
MLKI Sulbar menyebut saat ini ada 1.095 pelajar penghayat kepercayaan yang mengenyam pendidikan diberbagai jenjang.
“Saat ini pelajar sesuai data kami menyebar di 34 Sekolah dasar 481 siswa di Mamasa, di 23 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 304 siswa, 260 Siswa di 20 SMA/SMK, dan 50 Pelajar di Perguruan Tinggi,” kata Muliadi.
Dengan jumlah pelajar sebanyak itu, MLKI Sulbar menyebut rasio antara murid dan guru agama yang disebut guru penyuluh agama yang baru berjumlah 81 orang guru sukarelawan tidak seimbang.
Selain itu pelajar penghayat kepercayaan di Perguruan tinggi tidak memiliki wadah belajar, sehingga sering kali kesulitan saat hendak menginput nilai agama.
“Tentu jumlah rasio Penyuluh agama (Guru) tidak sebanding dengan siswa, honor pengajar juga hanya 300 ribu per bulan, tentu tidak cukup. selain itu pelajar di perguruan tinggi juga sering kali kebingungan mengisi nilai agama lantara tidak tersedianya mata pelajaran dan pengajar,” ungkap Muliadi.
FGD yang membahas Penerapan Permendikbud Nomor 27 tahun 2016 di Sulbar ini dihadiri Pamong Budaya Ahli Madya, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Sumari. S.Sn, M.M.
Menurut Sumari saat ini di Indonesia diperkirakan ada sekitar 200.000 jiwa penganut penghayat kepercayaan, namun baru 50.000 masuk dalam pencatatan.
Sementara, untuk Sulbar, Sumari mengaku, jumlah siswa Penghayat Kepercayaan salah satu yang cukup besar dan jadi potensi masa depan untuk bangsa.
“Bayangkan jumlahnya terbatas dengan jumlah siswa yang luar biasa banyak. Memang saat ini perlunya keterlibatan pemerintah daerah untuk mendukung ini, karena pemerintah belum mengamodirnya secara regulasi,” kata Sumari.
Dia meminta para penganut kepercayaan tidak lagi minder dari kelas sosial, lanataran saat ini pengakuan negara sama dengan warga negara lainnya.
“Saya pesan kepada penganut kepercayaan harus percaya diri di tengah-tengah masyarakat, jangan minder. Perkuat kepercayaannya, dibuat militansi terkait keimanannya diperkuat ajarannya, diperkuat ibadahnya. Karena sudah dijamin Undang-Undang,” ujar Sumari.
“Masyarakat penganut kepercayaan harus tangguh dalam menghadapi jaman, harus kuat menghadapi perubahan jaman utamanya pada teknologi. Perkuat pengetahuan dan keterempilan untuk menghadapu dinamika sosial, pokoknya semangat kita warfa negara sama dilindungi Undang-Undang,” pungkasnya
FGD yang baru pertama kali digelar penghayat kepercayaan ini, dihadiri Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sulbar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulbar, Perwakilan Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), Kepala Sekolah, Pelajar, dan Mahasiwa dari berbagai kampus.