
Oleh: Lazuardi Arka (Central Commando Jaringan Oposisi Loyal)
Jaringan Oposisi Loyal, dengan penuh kesungguhan dan berdasarkan analisis yang tajam, menyampaikan mosi tidak percaya terhadap Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar, khususnya terhadap Dinas Sosial, Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (P2KBP3A), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), serta Dinas Perhubungan.
Dalam analisis kami, terdapat dua isu utama yang sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan ketidakmampuan struktural dalam mengelola permasalahan sosial dan keuangan di daerah ini, yaitu eksploitasi anak yang semakin marak dan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencurigakan.
Kedua isu ini tidak hanya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Eksploitasi anak yang terjadi di Kabupaten Polewali Mandar merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hak anak yang dilindungi undang-undang. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak untuk pendidikan, pengasuhan yang layak, dan perlindungan dari eksploitasi, justru dipaksa untuk bekerja di jalanan dengan beralaskan sandal, berjualan hingga larut malam hanya demi memenuhi kebutuhan orang tua mereka.
Fenomena ini mencerminkan adanya pembiaran sistemik terhadap pembangkangan hukum dan pengabaian terhadap hak-hak dasar anak yang seharusnya dijamin oleh negara.
Lebih mengkhawatirkan, Satpol PP sebagai aparat yang bertugas mengawasi dan menegakkan ketertiban umum, justru terkesan menutup mata terhadap eksploitasi ini. Sebagai institusi yang mempunyai kewenangan untuk menertibkan kondisi sosial di lapangan, Satpol PP seharusnya mengambil langkah preventif dan represif terhadap praktik eksploitasi anak yang semakin meluas.
Namun kenyataannya, bukannya memberikan perlindungan kepada anak-anak tersebut, Satpol PP malah cenderung membiarkan mereka berjualan di pinggir jalan tanpa ada tindakan signifikan.
Pembiaran terhadap kondisi ini tidak hanya merupakan kegagalan sistem pengawasan, tetapi juga sebuah pengabaian terhadap tanggung jawab institusional. Ketika aparat penegak Perda seperti Satpol PP justru tidak berfungsi secara efektif, maka hal tersebut menunjukkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan mandat untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan potensi bahaya lainnya.
Kami menilai bahwa Satpol PP memiliki kewajiban moral dan hukum untuk bertindak tegas dalam mencegah eksploitasi anak, yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perda Kabupaten Layak Anak.
Tindak lanjut dari temuan ini harus mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam eksploitasi serta penyusunan program perlindungan anak yang lebih efektif.
Kami menganggap bahwa pemerintah daerah tidak hanya bertanggung jawab atas terjadinya eksploitasi ini, tetapi juga harus memikul beban untuk mengambil langkah-langkah korektif yang memadai untuk menghentikan fenomena tersebut.
Isu kedua yang sangat mencolok terkait dengan pengelolaan PAD, terutama yang berhubungan dengan retribusi parkir yang dikelola oleh Dinas Perhubungan.
Berdasarkan data yang kami peroleh, target PAD untuk tahun 2024 yang diperkirakan mencapai Rp1 miliar rupiah ternyata hanya terealisasi sekitar Rp300 juta rupiah sekian, yang menunjukkan ketidaksesuaian signifikan antara target dan realisasi.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan adanya pengelolaan yang buruk, tetapi juga mencerminkan kurangnya pengawasan dalam hal penggunaan dana tersebut.
Yang lebih mencurigakan lagi adalah lonjakan target PAD untuk tahun 2025 yang tiba-tiba meningkat menjadi Rp5 miliar rupiah, sebuah angka yang tidak realistis jika mengacu pada kinerja sebelumnya.
Ketidaksesuaian antara prediksi dan realisasi ini menimbulkan keraguan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan PAD, serta menimbulkan kecurigaan terhadap adanya penyelewengan anggaran.
Kebocoran PAD yang terus-menerus terjadi menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak serius dalam melakukan pengelolaan keuangan yang baik dan transparan, yang pada gilirannya dapat merugikan kepentingan rakyat dan menghambat pembangunan daerah itu sendiri.
Kami menilai bahwa pengelolaan PAD yang buruk ini memerlukan investigasi yang mendalam, di mana harus ada upaya untuk mendeteksi adanya potensi penyelewengan dan memastikan bahwa anggaran yang ada digunakan dengan cara yang sah dan sesuai dengan kepentingan publik.
Lebih lanjut, kami mengusulkan agar pemerintah daerah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan PAD, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan akademisi dalam proses pengawasan.
Sebagai langkah awal untuk menyuarakan ketidakpuasan kami terhadap dua permasalahan mendasar ini, Jaringan Oposisi Loyal telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak terkait di ruang Aspirasi DPRD Kabupaten Polewali Mandar. Namun, hasil dari pertemuan tersebut sangat mengecewakan.
Kami merasa bahwa proses ini hanya menjadi formalitas belaka yang tidak menghasilkan langkah nyata untuk mengatasi isu yang kami angkat. Jawaban yang diberikan oleh perwakilan pemerintah terkesan hanya sebatas prosedural, tanpa adanya komitmen untuk menindaklanjuti atau bahkan menyelesaikan masalah yang ada.
Dalam pertemuan tersebut, meskipun kami mengemukakan bukti yang jelas mengenai eksploitasi anak dan kebocoran PAD, tanggapan yang kami terima sangat jauh dari harapan.
Seolah pemerintah daerah tidak melihat urgensi masalah ini atau bahkan lebih memilih untuk menghindari tanggung jawab. Ini menjadi bukti lebih lanjut bahwa pemerintah daerah, yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat dan akuntabilitas publik, justru memilih menutup mata terhadap kenyataan yang ada dan mengabaikan aspirasi masyarakat.