

Setibanya kami di Dusun Rantemasanda, Desa Balla Tumuka, di perkampungan yang letaknya berdekatan dengan area wisata Buntu Mussa’ memberi daya tarik tersendiri. Deretan rumah adat Mamasa pada wilayah tersebut serta keramahan penduduk seolah menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya.
Saya ke desa ini bersama kawan karena ingin mencari bibit kopi. Tapi dalam perjalanan, kami melewati rumah yang terancam rubuh. Berbeda dengan jejeran rumah yang kami lalu sebelumnya. Miris hati memandangnya. Atap dan dindingnya sudah banyak berlubang. Rangka rumah yang terbuat dari kayu pun sudah lapuk. Saya bayangkan bagaimana kondisi penghuninya jika hujan mengguyur. Pasti kuyup kedinginan.
Memenuhi rasa penasaran, kami pun singgah menyapa penghuni rumah. Ternyata seorang nenek yang sudah lanjut usia (lansia). Sang nenek begitu ramah menyambut kami dan mempersilahkan masuk ke rumahnya. Ketika kami melangkah masuk ke ruang rumah. Kaki serasa enggan berpijak. Ia sibuk mencari tempat untuk menjinjit. Seorang kawan ceroboh memijak. “Praakk” lantai bambu rumah itu berteriak menahan sakit karena patah. Ia mudah patah karena usia.
Tersayat hatiku membayangkan keseharian nenek tua itu. Fisiknya sudah renta.
“Bagaimana ia menapaki lantai rumahnya yang penuh jebakan itu. Salah sedikit “prak”, tentu kakinya jeblos ke bawah. Pasti sakit sekali karena betisnya tak lagi berisi otot, hanya kulit membalut tulang,” pikirku.
Ia seorang nenek berusia 71 tahun. Nenek Tande namanya. Ia bukan sebatangkara. Ia memiliki anak namun sudah berumah tangga pula. Cucunya pun sudah ada 8 orang. Tapi ia lebih memilih tinggal sendiri setelah bercerai dari suaminya, ketimbang bersama anaknya. Karena nasib anaknya tak ubahnya dengan nasibnya.
Ketika dirundung rindu, ia memilih mengunjungi cucunya daripada mengundangnya datang. Lantaran takut cucunya jatuh saat bermain di rumah miliknya yang dibangun sekitar 50 tahun silam oleh orang tua Nenek Tande. Nenek Tande bertahan hidup sebagai buruh tani.
“Saya tidak memiliki sawah dan kebun sebab telah diwariskan ke anak saya dan saat saya bercerai dengan suami, saya hanya membantu orang ke sawah atau ke kebunnya, diberikan upah sesuai kerelaan. Kadang juga bila sakit jika bukan anak saya yang datang membawa beras maka tetangga kadang memberikan makanan,” ujar Nenek Tande.
Ia juga sering mencari rumput jenis seong di lokasi pengembalaan kerbau untuk dijual. Begitulah ia mempertahankan hidup. Ia tidak ingin membebani anaknya yang telah punya keluarga sendidi.
Nenek Tande tahu persis beban hidup anaknya bersama kelurganya. Karena ketiga anaknya yang semuanya telah berumah tangga itu hanya berpenghasilan dari sawah yang diwariskannya. Luasnya tak seberapa.
Langi’ Lempan, salah satu kerabat Nenek Tande sekaligus tetangganya menambah informasi tentang Nenek Tande.
“Bila ia sakit, biasanya kami tetangganya secara bergantian menengok dan memberikan makanan, apalagi dia tinggal di rumah hanya seorang diri,” kata Langi’ Lempan.
Ia juga mengatakan, hampir semua bagian rumah Nenek Tande telah dilewati air hujan sehingga saat musim hujan kadang nenek tersebut tidur dengan gabah hasil pemberian tetangga sebab hanya bagian dapur dan kamar tidur yang tidak ditetesi air hujan.
Setelah cukup puas mendengar kisah Nenek Tande, kami pun melanjutkan perjalanan mencari lokasi penjual bibit kopi. Namun baru sekitar 50 meter berjalan, mata saya menyorot rumah yang tak jauh beda dengan kondisi rumah Nenek Tande.
Rumah itu beratap alang-alang yang di sana-sini telah bocor, berlantai dan berdinding bambu yang mulai lapuk. Rumah ini adalah kediaman Kakek Edy (70).
Saat kami menghampiri, Kakek Edy sedang nyantai di teras rumah sambil mengisap tembakau yang dibungkus kulit jagung. Kami pun berbincang dengan volume suara yang harus keras lantaran pendengaran kakek tersebut kurang peka.
Jika Nenek Tande berstatus sebagai janda maka Kakek Edy berstatus duda. Kakek Edy juga hidup sendiri di kediamannya yang telah reyot. Di masa tuanya ini, Ia hidup dengan mengolah sepetak sawah. Ia tetap bekerja agar tidak bergantung pada pendapatan orang lain.
“Hasil sawah saya meskipun hanya 5 sampai enam karung 50 kilogram tapi dapat sedikit membantu hingga menunggu masa panen berikutnya,” tutur Kakek Edy sembari menghembuskan gumpalan asap tembakau dari mulutnya. Sambil berbincang, saya sempat melongok ke dalam rumah. Dinding dan lantainya kelihatan sudah lapuk. Itu disebabkan atap bagian depan dan bagian samping rumah telah lama bocor.
Menurut Kakek Edy, dirinya ingin memperbaiki rumah namun pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia tak mampu menggaji orang. Sedangkan untuk memperbaikinya sendiri, kemampuan untuk memanjat telah berkurang karena usia. Niat untuk memperbaiki rumah terpaksa dipendam.
Karena terlanjur mengorek kondisi warga yang kehidupannya miris ini, kami pun ingin mencarikan solusi. Kira-kira siapa yang bisa membantu dua lansia tersebut ? Terlintaslah dibenakku akan pemerintah terdekat, yakni kepala desa. Kami pun menemui kepada Desa Balla Tumuka, D. Deppalulun. Tapi kepala desa pun nampaknya angkat tangan.
D.Deppalulun menyatakan, kedua Lansia yakni Nenek Tande dan Kakek Edy memang memiliki kediaman yang terancam rubuh, pihaknya telah beberapa kali mengusulkan untuk memperoleh bantuan rumah tidak layak huni namun hingga sekarang belum ada respon.
“Kami pernah berinisiatif memperbaiki namun pertimbangan lain bahwa masih ada enam rumah di wilayah Desa Balla Tumuka yang mengalami kondisi serupa dan bisa jadi sebagian akan cemburu bila tidak sekaligus sehingga rencana tersebut dibatalkan,” tutur Kades.
Ia menambahkan, selain Kartu BPJS Kesehatan, hingga sekarang belum ada jenis bantuan pemerintah yang diterima Nenek Tande dan Kakek Edy. Baik berupa Program Keluarga Harapan (PKH) bahkan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Ia mengatakan, mestinya orang seperti Nenek Tande dan Kakek Edy yang menjadi perhatian sebab mereka sudah tidak mampu bekerja. Karenanya, lanjutnya, sangat diharapkan adanya bantuan Pemerintah Daerah guna meringankan hidup lansia tersebut.
Usai menemui Kades Balla Tumuka, kami pun melanjutkan rencana semula, mencari bibit kopi terbaik. Kopi Mamasa memang terkenal kualitasnya. (Yoris)