Mencari Orang Mandar di Benua Kanguru
Oleh: Nurhira Abdul Kadir
Saya pernah mendengar cerita begini. Pada tahun 2000-an, pernah ada pertemuan dengan pembicara Rektor UIN Alauddin Makassar masa itu, Professor Azhar Arsyad. Prof Azhar berpesan agar semua yang hadir rajin menulis. Tak usah takut salah, tak usah menunggu bagus. Kalau tidak ditulis, maka akan kehilangan momentum.
Pernyataan pak Rektor ini kerap terbawa-bawa dalam ingatan saya. Betul, banyak sekali hal yang mungkin baik untuk disampaikan akhirnya tidak diikat dalam tulisan, lalu menguap begitu saja.
Kemaren, sesaat sebelum mengirimkan bagian pertama tulisan saya, keraguan datang. Bagaimana kira-kira tanggapan pembaca. Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu. Bagaimana ini dan itu. Tapi akhirnya, saya beranikan diri saja membaginya.
Selepas termuat, respon pun saya terima dalam hitungan detik. Pertama, seorang ibu, penulis produktif, Arniyati Saleh. Tidak tanggung tanggung, beliau konfirmasi tulisanku kepada Prof Gufran Darma Dirawan, wakil rektor IV Universitas Negeri Makassar. Prof Gufran yang menambahkan bahwa ada keluarga Mandar di benua Kanguru. Beliau adalah ibu Rosnany M Noor, orang Campalagian. Masih sering mudik ke Campalagian, masih fasih bahasa Campalagian, walaupun putra putri beliau sudah tidak bisa lagi berbahasa Indonesia.
Kepada ibu ini, Prof Gufran memanggil kak Nany. Ibu Nany tinggal di Dandenong, sebuah suburb di Melbourne. Aktif dalam berbagai kegiatan di KJRI Melbourne menyebabkan bu Nany dikenal luas di Melbourne.
Semasa berkuliah dari tahun 1998 hingga 2001, Prof Gufran kerap ke rumah ibu Nany. Rupanya kediaman beliau merupakan tempat berkunjung pelajar atau warga Indonesia, termasuk oleh dua orang lagi adik Prof Gufran.
Lalu, merespon pula pak Muhammad Ridwan Alimuddin, meralat tulisan saya. Beliau merasa kurang pas disebutkan sebagai orang Mandar di Australia. Lebih cocoknya, kata beliau, orang Mandar ke Australia.
Yang menarik, dalam kunjungan bersama perahu Padewakkang 2019 lalu, saat mampir di Darwin, beliau berjumpa juga seorang Mandar yang lahir dan besar di NTB, menikah dengan perempuan Australia, dan tinggal di Northen Territory. Nama sahabat ini belum dapat dikonfirmasi hingga saat ini. Mungkin nanti akan ada pembaca yang mengenali beliau?
Dari pak Ridwan, tersambung pula cerita dengan Mursidin Amiruddin. Beliau saat ini tinggal di New Orleans, USA, menjadi “orang Mandar di Amerika”. Rentang 1993-1997, Mursidin pernah menemani ayahandanya (alm) pak Drs. Amiruddin Saharuna yang ditugaskan negara sebagai Direktur Kantor Pusat Promosi Pariwisata untuk Australia dan New Zealand. Tugas ini di bawah koordinasi Langsung Menteri Pariwisata.
Cerita saya pun disambut oleh ibu Kustinah Firdaus. Suami beliau pak Firdaus Muis, bekerja di rumah sakit di Sydney. Ibu Kustinah menambahkan ada orang Mandar lainnya, seorang Professor. Dulunya beliau ini bekerja sebagai dosen di Flinders University, Adelaide, Australia Selatan. Tetapi kemudian beliau pindah mengajar di universitas lainnya di Perth, Australia Barat.
Bicara tentang Perth, harus saya sebutkan ‘pertemuan’ saya dengan Wildan S Baso Alatas di postingan fesbuk saya. Beliau turut menyapa dan berkabar tentang keberadaan beliau bersama keluarga di wilayah barat Australia. Sudah 40 tahun berada jauh dari kampung halaman. Yang unik mengenai Wildan dan Mursidin, keduanya mulanya saya sapa dengan “Pak”. Untungnya, sahabat saya ibu Syarifah Hasnur, guru di salah satu SMA di Polewali Mandar, menengahi. Ibu Ifa, seangkatan saya SMA Negeri 1 Majene, memanggil adik pada keduanya. Signal kuat bagi saya meralat cara sapaan.
Saya menyebut nama Bulqia Mas’ud dalam kisah bagian pertama. Beliau berkenan membagikan tulisan saya di FB, tak lupa menyebut dua nama yang tak boleh saya lewatkan dalam catatan ini. Rupanya di Melbourne, negara bagian Victoria, tinggal dua orang Mandar lainnya. Perantau muda, Ikhsan dan Umar. Ikhsan, asal Pambusuang, sedang melanjutkan studinya di bidang applied linguistic di the University of Melbourne dan Umar melanjutkan pelajaran tingkat doktoral di Monash University.
Walhasil, dalam tempo kurang dari dua puluh empat jam saja setelah mengabarkan ‘pencarian’ saya terhadap pertanda persaudaraan di benua yang dinahkodai Pak Scott Morrison ini, saya menemukan setidaknya enam tambahan jejak kepada saudara se-Mandar.
Mungkin ada yang heran mengapa sampai sebersemangat ini mencari orang Mandar di Australia? Mencari saudara adalah penting. Itu dianjurkan oleh Nabi SAW. Barangsiapa yang senang diluaskan reskinya dan dipanjangkan umurnya, kata Nabi SAW, maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi (HR Bukhari).
Alhamdulillah di tengah kesedihan harus berjarak dari saudara dalam situasi pandemic ini, ternyata tetap ada cara mencari dan menemukan saudara. Naua to dioloq, tuo bomi tau muaq sitai tau luluareq. Rapangi kappal napanginoi lembong, rapeq salamaq tama di pottana.
Tetua kita bertitah, menemukan saudara di rantau adalah menemukan kehidupan. Serupa kapal dipermainkan badai, menepi tenang ke pangkuan daratan.***
Baca juga bagian ketiga tulisan ini, bercerita tentang pemuda Samasundu merambah ke Australia.
Keiraville, NSW, 26 April 2020
Penulis berasal dari Somba, Majene, Sulawesi Barat. Sebagai dosen di Prodi Kedokteran UIN Alauddin Makassar, ibu tiga anak ini sedang ditugaskan belajar di School of Health and Society, the University of Wollongong, Australia.