Dari Samasundu ke Australia, Jalan Hidup Sang Perantau Mandar
Laporan: Nurhira Abdul Kadir
Unik juga mencari alamat sahabat hanya berbekal informasi tentang nama dan pekerjaannya. Apalagi jika rumanya di daerah yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
“Kita ndak akan kesasar,” kata pak suami meyakinkan, “palingan tembus di Mamasa.” Selorohnya.
Sahabat yang dituju, pak Halik, sudah dihubungi sejak berangkat dari rumah kami di Somba, tidak ada sahutan. Saat bertanya di sekitar area pasar Tinambung, mana jalan ke Samasundu, kecamatan Limboro, Polewali Mandar, petunjuk yang diberikan berbeda-beda.
Akhirnya, saudara saya, seorang pegawai Pemda Polman, yang memandu. Panduan pun sekedar sampai di pengkolan menuju Samasundu. Setelahnya, saat masuk dan rumah mulai jarang, sinyal hape meredup.
Lewati jalan menanjak, seperti masuk hutan. Pak Halik belum menyahuti pesan. Kita akan dapat Samasundu, tapi bagaimana bisa ketemu rumah pak Halik?
“Tenang,” sahut pak suami.
Di sebuah pos ronda kayu, kami menepi.
“Tabeq, Samasundu mi ini, pak?”
“Iyeq” Sahut satu dari tiga pemuda di pos ronda.
“Kita tau di mana rumahnya pak doktor Abdul Halik, dosen UIN Alauddin Makassar?”
Mereka memandang satu sama lain.
Pertanyaan yang sama kami tanyakan pada ibu di pinggir jalan. Lalu di teras sebuah rumah yang sedang sibuk menggembirakan tamu. Semua ini didahului upaya mencari cara terbaik memarkir kendaraaan di jalan sempit, dengan posisi kemiringannya kadang ekstrim.
Semakin ke dalam, jalanan semakin tidak menjanjikan.
“Ini ada bapak mau sholat Jumat, coba kiq tanya. Kalau bapak ini, pasti tau mi itu.” Bujuk suami mewaspadai mesin semangatku yang mulai ngadat. “Sekalian tanya ki jalan ke masjid. Kita sholat mi saja dulu.” Tambahnya.
“Pak, tabeq,” Sapaku pada si bapak, “kita tau rumahnya pak Dr Abdul Halik, dosen UIN Alauddin Makassar?”
“Oh, iyeq,” Sahutnya sumringah, “temanta mungkin, Bu? Sepupuku itu.”
Wah, ketemu juga.
“Saya ndak kuatir, pasti ketemu. Beliau pasti di masjid sholat Jumat sebentar.” Sahut pak suami ketika saya kembali melapor.
Saya pikir benar juga.
***
Pertemuan dengan pak Halik pada Idul Fithri Jumat, 15 Juni 2018, itu yang memperkenalkan kami dengan seorang putra Samasundu yang kini bermukim di Australia. Seperti disinggung sekilas di bagian sebelumnya dari kisah berentet ini, di kolam To Salama, Samasundu, rindang daun menaungi halaman masjid dekat kolam. Beliau menceritakan bagaimana perusahaannya pernah meratakan satu bukit hanya dalam semalam. Itu proyek eksplorasi batuan. Asyik bercakap, lupa tanya namanya. Bahkan saking asyiknya, pak suami yang doyan memotret, lupa memotret.
Akhirnya Samasundu ditinggalkan tanpa bekal nama, atau foto. Kehilangan besar, terutama ketika tiba saatnya menceritakan kejadian itu di sini.
Beruntung sekali pak Abdul Halik, sahabat kami, berkenan berbagi sekelumit berita tentang beliau. Berikut ini penuturan pak Halik, tentang pria Samasundu, Mandar asli, yang kini hidup jauh di benua Kanguru. Beberapa penyesuaian dilakukan tetapi tidak mengubah sedikitpun alur penuturan.
“Namanya Mursalim. Di kampung, Samasundu, kami panggil Caling.
Ia sedikit lebih tua dari saya. Mungkin dua atau tiga tahun bedanya dengan usia saya. Seperti juga saya, dia dari keluarga petani sederhana. Sekolahnya hanya sampai SMA.
Sebetulnya saat sekolah, prestasinya menonjol. Namun tak sempat kuliah karena kekurangan biaya, meskipun ia sangat ingin kuliah.
Caling masih kerabat dekat kami. Awalnya ia merantau ke Kalimatan, kerja di perusahaan tambang batubara. Kemudian ia diajak Bos-nya ke Sumbawa. Kalau tidak salah di perusahaan tambang emas Newmont.
Dulu, kalau Caling pulang kampung, via Makassar, sering singgah di tempat kost saya. Dia pernah cerita kalau ia diajak oleh Bos-nya yang bule mengelilingi tempat tertentu di Sumbawa berulang-ulang dengan helikopter untuk observasi potensi tambang emas. Akhirnya mereka buka perusahaan tambang dan berproduksi setelah beberapa lama kemudian.
Menurut cerita Caling, salah satu pekerjaannya adalah mengajari anak-anak muda di sana untuk bisa bekerja seperti dia, operator semacam mobil besar untuk menggali tanah. Setelah beberapa tahun di Sumbawa, ia sempat diajak Bos-nya ke tambang emas di USA, kalau tidak salah dia bilang Nevada. Katanya, ia diiming-imingi pendapatan yang luar biasa di USA.
Caling tertantang dan sangat ingin penuhi ajakan tersebut. Tetapi istrinya membayangkan hal yang sulit di sana nantinya. Akhirnya ia memilih tetap di Sumbawa, dan beli rumah di Lombok, kalau tak salah ingat. Namun, akhirnya ia pergi juga ke Australia setelah Bos-nya kembali mengajaknya untuk bekerja di luar negeri.
Bakti pada Ibu dan Kerinduan pada Mandar
Kami, keluarganya sangat bangga dengannya, bukan hanya karena ia bisa bekerja di perusahaan asing di luar negeri, sementara hanya tamatan SMA di kampung, tetapi juga karena cintanya sama keluarga di kampung. Sempat ia datang membangunkan rumah untuk ibunya.
Sesekali ia mengambil cuti tahunannya untuk menjenguk ibunya dan semua keluarga di Kampung. Ibunya kini sudah tiada beberapa tahun lalu.
Meski sudah lama di luar negeri, ia tidak lupa bahasa Mandar. Yang ia sesalkan, tak berhasil membuat anak-anaknya bisa bercakap dalam bahasa Mandar. Ia menikah dengan seorang anak pejabat daerah di Bontang. Mereka menikah saat Caling masih bekerja di Kalimantan.
Lebaran kemarin ia pulang dan cerita bahwa ia sudah punya dua mantu. Dua anaknya menikah dengan orang asing. Katanya satu dari Inggis dan satu lagi mantunya dari Philipina.
Dua hari lalu (akhir April 2020), saya sempat chat dengan Caling. Dengan bercanda ia bilang kalau ia mau sekali mudik. Tapi karena Covid-19, terpaksa ia tak jadi pulang.
Saya tanya apakah di sana ada sholat Jumat, ia hanya bilang, di sekitar tempat tinggalnya hanya ada 6 sampai 7 orang Muslim.”
Demikian kisah pak Halik tentang Mursalim. Saat ini, pak Mursalim dan keluarga tinggal di Perth, Australia Barat.*
Keiraville, 11 Ramadhan 1441H, 4 Mei 2020
Nurhira Abdul Kadir, ibu tiga bocah. Orang Mandar yang sedang bersekolah di the University of Wollongong, NSW, Australia.