Berpuasa di Australia: Daging rendang sinanaua pijagur
Laporan: Nurhira Abdul Kadir
Di mana pun kita berada, berpuasa tahun ini sungguh amat berbeda. Pandemic Covid-19 sedang mengintai. Banyak yang harus melaluinya jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, atau jauh dari rumah karena harus bekerja di RS.
Larangan mudik sudah didengungkan sebelum Ramadhan di tanah air. Kalau di luar negeri, seperti di New South Wales, Australia, larangan yang ada bukan hanya untuk mudik atau bepergian lintas negara bagian. Pula dilarang meninggalkan rumah dengan kendaraan kecuali untuk tujuan yang sifatnya esensial: belanja bahan makanan, ke rumah sakit, atau bekerja bagi yang bekerja di sector fundamental seperti rumah sakit, bank, swalayan bahan pokok, dan petugas klining.
Kalau hanya jalan kaki atau sepedaan, penghuni rumah boleh keluar. Boleh juga refreshing di taman sekitar rumah tetapi menjaga jarak.
Lantaran itu, masjid memutuskan meniadakan tarwih. Masjid terdekat ke rumah kami namanya masjid Omar, dulunya adalah synagogue, tempat ibadah umat Yahudi.
Alhamdulillah, sekitar pertengahan puasa, masjid Omar mengeluarkan pengumuman menyediakan takjil alias ande buka.
Berita itu kami sambut gembira. Anak kami lumayan sering ikut antri ambil pabuka ke masjid Omar. Sajiannya berganti-ganti. Kadang dapat nasi biryani, kadang gozleme, kadang nasi kebuli, kadang juga saya pun tak tahu namanya apa.
Dulu, di Somba, saya pernah ikut mamaq mengunjungi kerabat yang baru kembali dari tanah suci. Saat masih kecil, hobbi saya jadi pengamat. Cerita saya catat dalam hati.
Sambil membenahi maddawaranya, si ibu Hajjah yang kami lawat berkisah tentang makanan yang beliau jumpai di tanah suci.
Kalau di tanah suci, paparnya, sering ada sumbangan makanan untuk jamaah. Itu nasi Arab, kata si ibu, nasi yang penuh penuh rempah.
“Di dalamnya itu nasi, ada mi seperti rendang daging sapi, besar-besar,” Ibu Hajjah mengepalkan tangan mencontohkan,”begini, sebesar kepalan tangan, sinanaua pijagur.”
“Ceh, kayyang tongangi (Wah, besar amat!)!” Seru kerabat yang mengelilingi dengan takjub.
Waktu itu saya sempat tak percaya. Bagaimana bisa daging sinanaua pijagur bisa ada dalam nasi dan bisa dimakan.
Kalo di Mandar, daging terbesar yang pernah saya lihat adalah berupa dadu-dadu. Sate goreng di acara kawinan atau akikah. Kalau ada lebih besar dari pada itu, pasti daging lassuq, luput dipotong oleh juru masak atau bas-nya
Ilustrasi ibu hajjah ini kerap teringat saat menemukan daging sapi sinanaua pijagur dalam kotak makanan kami dari masjid. Ternyata memang betul, brother Arab kalo memotong daging seperti tidak kira-kira. Royal sekali.
Kadang ada yang ukurannya super seperti kepalan tangan, tapi dagingnya amat lembut. Bumbunya meresap hingga ke dalam daging. Sungguh sedap masakan Timur Tengah berempah ini. Yang tidak rajin ke masjid, bisa jadi rajin karena terngiang-ngiang sedapnya masakan timur tengah tersebut. Masya Allah!
***
Cara mengambil takjil atau ande buka di Omar menyesuaikan protocol Covid-19. Paket sudah terkemas satu-satu jadi tinggal dibagi. Satu seorang.
Jamaah yang datang, mengantri jarak satu setengah meter. Menjelang sampai di meja paket, mereka membasuh tangan dengan hand sanitizer yang sudah disediakan panitia.
Lain jalan masuk, lain jalan keluar. Seringkali antrian jamaah laki sangat panjang, sampai ke trotoar jalan.
Kalau sudah begitu, bersyukur jadi perempuan. Perempuan langsung dipanggil, ekspres. Tidak pakai antri, karena cuma satu dua saja. Perempuan dimuliakan.
Mulanya direncanakan hanya untuk Sabtu dan Minggu. Paket buka dari masjid berubah jadi setiap hari. Soalnya bukan hanya banyak yang datang ambil paket ke masjid, tapi banyak juga yang mau ikut menyumbang.
Jadi panitia memutuskan mengatur donator. Diharapkan semua berkumpul dengan grupnya baru membuat masakan untuk hari yang mereka pilih. Jadi akhirnya ada hari khusus untuk kelompok jamaah Pakistan, ada satu hari untuk jamaah Turki, terus Bangladesh, lalu Malaysia dan tak lupa, kelompok kami, Jamaah Pengajian Illawarra (JPI) yang terdiri dari pelajar Indonesia dan warga Australia asal Indonesia.
Giliran Indonesia mengantar takjil atau pabbuka adalah hari ini. Diperlukan 150 hingga 200 paket untuk hari ini. Karena peraturan Covid-19 tidak memungkinkan untuk memasak bersama, jadi diakali.
Tiap ibu menyediakan 15 bungkus makanan. Ada satu ibu bersedia menyiapkan 150-an paket kue dan cemilan. Jadi khusus cemilan, isinya seragam.
Makanan utama ada macam-macam. Bahan dasarnya semua nasi. Nasi kuning, nasi goreng, dan nasi putih. Lauknya tidak diatur, hanya ditentukan minimal dua macam lauk dan satu macam sayur.
Setelah berkontemplasi sekian lama menimbang kemampuan masak saya yang pas-pasan, saya memilih memasak nasi goreng. Pertimbangannya, kalau lauknya kurang nendang, paling tidak nasinya sudah ada rasa.
Tidak ada masakan khas Mandar yang sempat saya sisipkan dalam edisi kali ini. Walaupun saya sudah cukup mahir membuat buras Mandar berwajah Australia, seperti saya ceritakan di bagian sebelumnya. Sehari sebelumnya saya sempat berdiskusi dengan ibu-ibu yang lain dan disepakati menu diupayakan seseragam mungkin.
Mengingat yang akan makan sebagian besar adalah bangsa asing, diupayakan dicari sesuatu yang kurang lebih sudah mereka kenal. Ayam goreng, rendang, mi goreng, telor, sudah agak dikenal di sini.
Catatan besar: jangan pedas! Sebab yang menyantap mungkin tak tahan pedas. Tak biasa. Bisa – bisa sakit perut juga. Kasihan.
Ketika saya duduk mengetikkan tulisan ini, 16 paket ande buka yang menjadi tanggung jawab rumah ini sudah diantarkan ke masjid. Nanti di sana akan berkumpul dengan paket-paket lain dan siap menunggu jamaah yang datang mengantri.
Alhamdulillah, mudah-mudahan menjadi berkah.***
Keiraville, 17 Mei 2020
Penulis adalah ibu tiga anak, berasal dari Somba, Majene, Sulawesi Barat. Penulis sedang ditugaskan untuk sekolah di School of Health and Society, the University of Wollongong, Australia.