Malam Lebaran di Wollongong: Takbiran Pertama Setelah Tujuh Puluh Tahun
Oleh: Nurhira Abdul Kadir
Di musim dingin, maghrib datangnya cepat. Hampir tiba saat berbuka, belum ada takjil. Ini memang semacam penyakit rutin malam lebaran. Menu lebaran diseriusi, menu buka keteteran.
Tok tok tok.
Wah, belum lebaran sudah ada tamu?
Pintu dibuka. Oh, ternyata si sulung. Tangannya menenteng kantongan putih.
“Pabuka, Bu!” Sodornya sumringah.
Rupanya setelah mengamati tak ada tanda kehidupan di meja makan, dia ajak si bungsu ke masjid Omar. Di sana selalu ada pabuka dibagikan tiap habis asyar.
Kali ini dapat 2 kotak per orang. Satu berisi kentang goreng, burger ayam, dan irisan timun. Satu lagi asinan buah berempah. Mungkin masakan Timur Tengah?
Lepas sholat berjamaah maghrib, wangi daun pisang dari burasku yang gulang pituyuqna, mulai memenuhi ruang.
“Harus 3 jam itu dimasak, Nak.” Pesan mamaq. Beliau di Malunda saat saya tanyai.
Sembari bolak-balik menonton tutorial masak coto Makassar di Youtube, saya goreng ayam dan blender bumbunya.
Itu dikerjakan sambal menanggapi konsultasi si bungsu tentang henna, atau pacci Pakistan. Motif kembang sedang dia lukis di tangannya.
“Bagus mi ini toh, Bu?”
“Iya, bagus mi.” Sahutku sekenanya di depan wajan.
Belum selesai gorengan, datang pula suami.
“Bu, jadi kita ke kampus?”
“Jadi” Sahutku mendudukkan blender.
“Lepas sholat Isya saja ya?”Tanyanya lagi
“Iya, sholat Isya dulu.” Sahutku membebek.
Datang pula si sulung, “Kenapa masih mau ke kampus sudah malam begini, Bu? Dingin di luar.” Cemasnya.
“Mau print naskah khutbah ayah, Nak” Kataku.
“Apa tak cukup di laptop saja?”
“Tak apa. Ayah mungkin lebih tenang baca khutbah di kertas.”
***
Hampir Isya, ada lagi ketukan.
Tok tok tok.
Kali ini pasti tamu, bukan orang rumah. Siapa datang malam lebaran?
“Kami, pak!”
Tiga orang kawan pelajar berdiri depan pintu, “Mau nganterin ini.”
Satu karung beras seukuran 5 kg dan tiga kantong kismis diletakkan.
“Ini zakatnya brother, student Arab. Kami diminta nganterin sama semua pelajar Indonesia.” Jelas kawan yang lain lagi.
Rejeki anak sholeh. Alhamdulillah.
“Masuk dulu, Mas bertiga” Ajak suami.
“Terima kasih pak Haidir, kami masih banyak tugas hantaran.”
Mereka pamit. Ada saja rezeki tak terduga dari Tuhan.
***
Setelah menitip rebusan kuah coto untuk dijagai oleh si tengah, pukul 9 malam, saya jalan kaki ke kampus bersama suami.
Northfields Avenue sudah sepi. Halte bus tanpa penunggu. Bus yang tetap mampir sesuai jadwal, pergi tanpa penumpang.
Tiang lampu jalan di Wollongong terbuat dari kayu. Cahayanya yang jatuh di lengang jalan, terasa menyayat hati. Memperdalam pilu pada berakhirnya Ramadhan.
“Bang, kita bertakbir saja yuk.” Ajakku menghalau suasana muram.
“Allahu Akbar, allahu akbar, allahu akbar.” Sambut suami.
“Lailahaillallahu Allahu akbar!” Sambungku.
“Allahu akbar walillahil’ hamd.” Lanjut kami berdua.
Masuk ke foyer sekitar Unishop dan Student Central, kami terus bertakbir. Dinding-dinding memantul-mantulkan suara kami dalam keheningan.
Dulu di Somba, sehening ini kira-kiranya ketika rombongan pawai takbir tetiba menyeruak kesenyapan dan mengobrak-abrik alam bawah sadar penduduk yang tengah mengalir menuju mimpi.
Walau nyawa sudah di perbatasan menuju mimpi, jika rombongan sudah terdengar belok di panyingkul menuju rumahku, tanpa komando kami bersaudara akan melompat menuju teras. Di sana saya dan saudara ikut bertakbir, sepuas-puasnya teriak menyoraki rombongan.
Almarhum ayah biasanya marah jika kami teriak tak karuan di hari biasa. Tapi di malam lebaran, saat pawai takbir lewat, boleh. Toh tak ada yang dengar. Suara kami tenggelam digulung raungan knalpot.
Sekarang berdua saja takbiran. Syahdu sungguh rasanya bertakbir di keheningan kampus. Rasa air mata hendak meleleh. Pukul 9 malam di hari sebelum corona, beberapa dari area yang kami lewati biasanya masih sibuk.
Tahun depan, usia kampus the university of Wollongong genap 70 tahun. Barangkali setelah setua itu, baru kali ini ada orang yang melantunkan takbiran malam lebaran di kampus ini.
Di ATM kampus, kami mampir menarik uang. Tak biasanya entah karena apa, kali ini sama-sama kami setuju perlu memberi angpau pada anak-anak.
ATM kampus sepertinya sudah lama tak disentuh orang. Si corona membuat pelajar dan warga berupaya menghindari memegang barang yang dipakai bersama orang lain. Toilet umum, pegangan escalator, tombol lift, termasuk ATM.
Bahkan hingga sekarang, toko dilarang bertransaksi dengan uang. Semua belanja dengan kartu.
Bau debu menyapa ketika pintu study space-ku kubuka. Mungkin sudah sekitar 3 bulan ini ruangan ini tak lagi dikunjungi orang selain petugas klining.
Pelarangan kuliah tatap muka sudah diberlakukan sejak akhir Februari lalu. Saya sendiri sesekali masih ngampus, mau mem-print gratis.
Di wilayah kampus lainnya, untuk mem-print, mahasiswa harus bayar beberapa sen perlembar. Bukan untuk cari uang, ini upaya kampus memelihara lingkungan dengan mengurangi pemborosan kertas dan tinta.
Enam halaman naskah khutbah sudah selesai kami print. Lelaki yang esok pagi akan menjadi khatib sholat Iedul Fithri kami ini menampakkan wajah sumringah lantaran satu potensi masalah teknis sudah dihandel.
Pulang ke rumah jalan kaki, dingin menusuk tulang. Ini sudah sesuai prediksi anak sulung kami. Makanya kami pakai jaket tebal.
Sayangnya, ada yang luput diprediksi.
Ternyata sungguh memilukan berjalan di kelengangan jalan, pada malam lebaran yang jauh dari kampung halaman. Ingin kuminta rombongan pawai takbir kecamatan Sendana, belok ke Northfields Avenue malam ini. Biarlah keributan raungan knalpot dan lospiker tua itu di sini sebising-bisingnya, sungguh saya rindu, saya ingin bisa meraung-raung saja melepas padat isi dada, di sini seperti masa kecil dulu.
Keiraville, 23 Mei 2020
Penulis saat ini ditugaskan untuk belajar di School of Health and Society, the University of Wollongong, Australia. Menjelang tahun 90-an, pernah menjadi anggota remaja masjid Ridha Allah Somba, kecamatan Sendana, kabupaten Majene, dan beberapa kali ikut pawai takbiran di wilayah kecamatan Sendana.