(Penggal ke tiga cerita perjalanan ke Canada)
Sekalipun musim panas sudah tiba, bulan Juni 2015, Antigonish tak pernah betul-betul panas. Kuliah kami Senin sampai Jumat saja. Full dari pukul 8.30 pagi hingga pukul 5 petang. Sabtu dan Minggu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Termasuk menerima undangan fasilitator kami, ibu Marla, yang sangat ingin belajar masak makanan Indonesia.
Kami diajak masak dan makan bersama di rumahnya yang asri dan artistik, di wilayah perbukitan, tak jauh dari pemukiman mewah Cameron Hill.
Dua kali kami mengunjungi rumah ibu Marla. Pertama, kami diajak ke supermarket untuk memilih bahan-bahan yang akan dimasak. Sulit juga menemukan bahan yang sesuai. Tidak semua yang dicari tersedia. Misalnya, untuk sereh, yang ada hanya sereh kering dalam kemasan. Ikan pun tak banyak pilihan. Hanya salmon dan ikan tawar. Tidak ada ober, banggulung, layang atau bulalia. Walhasil, rasanya tentu berbeda dari apa yang ada di kampung.
Pada kesempatan kedua, kami memilih belanja tanpa diantar untuk bisa lebih konsentrasi menyiapkan bahan. Makanan utama sudah ada, tinggal berpikir tentang makanan penutup. Teman kami dari Surabaya, sangat pandai masak. Jadi, urusan masak makanan utama aman.
Cukup banyak yang dipikir untuk jadi makanan penutup yang bahannya kira-kira ada. Bahan dasar yang kami punya adalah pisang. Jangan dipikir model pisangnya seperti loka manurung, atau loka raya. Pisang yang ada hanya satu macam. Kulitnya segar, tapi isinya tidak sepadat pisang di Mandar. Sebenarnya, layaknya hanya untuk dimakan langsung tanpa diolah lagi.
Pada awalnya, kami mau masak kawossol. Tapi, saat uji coba di dapur asrama kami, kawossolnya menyerap minyak sangat banyak. Dicoba tambah tepung lebih banyak, kawossolnya tetap berminyak. Jadi kawossol diputuskan tidak layak.
Gagal dengan gorengan, kami diskusikan alternative lain: pisang ijo. Tapi pisang ijo bikinnya lumayan ribet. Harus dibungkus dengan adonan tepung dan lain-lain. Apakah tepungnya bisa lengket? Tepung di sini belum jelas sifatnya. Belum lagi, tidak ada sirup DHT. Akhirnya pisang ijo juga didiskualifikasi.
Alternatif ketiga adalah pallu butung. Syukur sekali, ketika pallu butung diukur dan ditimbang kelayakannya, semua langsung pas. Di sini ada santan, walaupun kalengan saja. Gula, dimanapun tentu ada. Urusan tepung, bisaanya karena tepungnya hanya dilarutkan jadi tidak ada masalah. Klop. Kami berangkat ke rumah bu Marla.
Saat tiba giliran memasak dessert, baru teringat bahwa pisang kami tertinggal dalam kulkas. Kami sudah cukup down membayangkan bahwa tanpa pallu butung, hidangan kami tentu kurang sempurna. Walau bercakap dalam bahasa Indonesia tentang pisang yang ketinggalan, bu Marla rupanya cukup peka melihat kekuatiran kami.
“Ada apa? Ada masalah?”
“Pisang kami ketinggalan di kulkas.” Jawabku
“Oh, tak apa. Kita bisa beli di supermarket Sobey,” ujar bu Marla tersenyum.
Kami jadi tidak enak. Merepotkan beliau, harus mengantar ke kota lagi. Mungkin pula berarti bu Marla harus membayari pisangnya. Karenanya, kami memutuskan memilih jalan tengah. Kita kembali ke kota tetapi tidak ke supermarket.
Diputuskan bahwa saya yang akan diantar kembali ke International House untuk mengambil pisangnya dari kulkas.
Alhasil proses memasak pallu butung dimulai. Seperti perkiraan semula, karena pisangnya tak sepadat pisang kita, pisangnya meleleh dalam panik tak lama setelah dimasukkan. Karena tak ada pandan, ataupun pasta pandan, kami memakai pewarna makanan hijau milik ibu Marla.
Sepanjang proses memasak itu, bu Marla mengawasi dan mencatat langkah langkahnya. Mulai dari mengupas pisang hingga menyediakannya di meja. Beliau memang sangat ingin mempraktekkan kembali semua masakan kami, termasuk pallu butung.
Ketika disajikan dalam mangkuk besar, pisangnya sudah hampir sempurna menjadi bubur. Penampilan pallu butung Canada jadi lebih mirip bubur pisang. Namun demikian, Alhamdulillah, ketika dicicipi, rasanya sedikit banyak mirip ji dengan pallu butung.
Ketika masakan rampung disajikan di meja, kami duduk melingkari meja makan besar di ruang makan ibu Marla yang jendelanya membuka ke arah hutan pinus di kaki lembah.
Angin meniup biji-biji bunga matahari yang kami sebar di pagar teras untuk mengundang burung-burung hutan bertandang sejenak. Uap air dan aroma dari hangat semangkuk masakan kampung halaman adalah anugerah tak ternilai. Ibu Marla dan suami beliau menyendok suapan pertama dan tersenyum,“Mmm, wow, it’s delicious. Pallu butung is delicious!”
Pallu butung-nya enak, kata bu Marla. Alhamdulillah, kami semua lega telah menyelesaikan masakannya dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Pallu butung, selamat datang di Canada.
(Dicatat di Antigonish, NS, pagi 13 Juni 2015 pukul 9.02 am Atlantic Time Zone)