Penulis: Eko Yanche Edrie (wartawan senior dan pemerhati polisi)
Selamat Hari Bhayangkara ke-77.
Selepas subuh, Sabtu 1 Juli lalu, bahagia sekali Brigadir Polisi Satu Sidi Tonek (bukan nama sebenarnya) menghirup kopi dari cangkir di teras baraknya.
Sepatunya sudah disemir mengkilap, kepala ikat pinggang berlogo Rastra Sewakottama juga dikilatkan pakai Braso. Sepeda motor keluaran tahun 2015 diracaknya untuk menuju markas.
Ia menjadi salah satu dari banyak bintara polisi yang sudah berkali-kali ikut tes Sekolah Calon Perwira (Secapa) tapi tidak lulus-lulus.
Ia sendiri tidak tahu dimana salahnya. Yang jelas, ia sudah pasrah lantaran kesempatan mengikuti jenjang pendidikan lanjut agar bisa pensiun dengan pangkat perwira polisi sudah lenyap.
Ia tak pula menyesali nasib karena yakin tak hanya dirinya yang seperti itu, ada banyak bintara polisi yang tak berkesempatan maju ke Secapa untuk meraih pangkat perwira. Apalagi usianya kini sudah kepala lima, sebentar lagi pensiun.
Sampai di kantor pun ia tidak berada di balik meja komputer untuk memeriksa tersangka atau sekedar membuat surat kelakuan baik bagi masyarakat yang membutuhkan.
Ia ditempatkan pada Unit Samapta Bhayangkara atau Sabhara. Kerjanya hanya berputar-putar untuk berpatroli ke lingkungan sekitar polsek-nya di daerah kecamatan itu.
Keinginan Tonek, ia menjadi salah seorang anggota reserse, berpakaian preman lalu memeriksa tersangka sambil menatap layar komputer.
Ia memang pernah berharap masuk ke korps yang dulu punya motto: Sidik Sakti Hanusa Bhakti (kini Sidik Sakti Indera Waspada) itu. Tapi, itulah Tonek, usia yang mulai menua, ia pun tak berkesempatan belajar komputer.
Ia hanya pernah belajar mengetik 10 jari di pendidikan Secata dengan mesin tua bermerk Remington. Ini adalah mesin ketik keluaran Inggris peninggalan Perang Dunia II.
Saat ia masuk polisi hampir setengah abad lalu, mesin tik tua seperti itu masih banyak di polsek-polsek. Bunyinya gemerincing dan kadang kalau ada pemeriksaan malam hari dari kejauhan terdengar meningkahi bunyi jangkrik di belakang markas.
Kini, jadi polisi harus makan bangku sekolahan. Kalau tidak sekolah, pangkat tak bakal naik-naik.
Sidi Tonek sendiri adalah anak polisi yang pensiun dengan pangkat Ajun Brigadir Polisi Satu. Ayahnya jadi polisi ketika lembaga itu masih bernama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI).
Kini, ia meneruskan profesi ayahnya dan sudah pula akan memasuki masa pensiun. Dan alhamdulillah ia belum pernah kena straaf oleh atasannya lantaran membeking togel, me-delapanenam-kan perkara, memainkan perkara 480 (kasus penadahan yang tersangkanya dijadikan ATM), menjual barang bukti, dan sebagainya.
Pangkat boleh brigadir kecil, tapi batinnya komisaris besar.
Di berbagai satuan setingkat Polres, para pemeriksa sudah pakai dasi. Tak ada lagi gemerincing Remington tua. Tak ada lagi ruang pengap yang membanjirkan keringat. Tak ada lagi telepon dengan engkol yang kalau mau bikin laporan tuntas (LT) dari Polres ke Polda (d/h dari Kores ke Kodak) operatornya harus berteriak-teriak.
Kini, pemeriksa bekerja dengan personal computer dan laptop, dengan aplikasi pengolah kata MS Word keluaran Microsoft yang amat nyaman, tanpa perlu tip-ex atau kertas karbon untuk pengganda BAP. Laporan tuntas harian (LTH) bisa menggunakan handphone atau radio komunikasi rig.
Sepeda torpedo hitam yang menjadi salah satu atribut polisi masa lalu juga sudah lama lenyap. Bahkan, polisi generasi tahun 80-an saja barangkali tidak lagi mengenalnya.
Kini, patroli sudah menggunakan sepeda motor model terbaru. Setiap Polsek sudah punya kendaraan roda empat. Di tingkat Polda sudah ada helikopter dan kapal patroli cepat.
Brigadir Tonek memang sedang berada di ambang transisi polisi tua dengan polisi generasi supercop.
Perkembangan teknologi juga membikin teknologi kepolisian juga berkembang. Tapi, takdir jadi polisi tidak akan pernah berubah.
Polisi memburu bandit, bandit membuat kejahatan. Begitu terus menerus bagai tiada henti, hingga satu hari kedamaian abadi datang.
Generasi Tonek, sekalipun bisa dikatakan akan ada yang gaptek alias gagap teknologi, tetapi sekali lagi, doktrin kepolisian di manapun di seluruh dunia tidak akan membolehkan anggotanya permisif terhadap kejahatan yang berjalan dengan lenggang kangkung tanpa polisi dapat berbuat apa-apa, sekalipun dengan teknologi yang tertinggal dari para bandit.
Dengan teknologi yang seadanya pun, polisi juga tak mungkin meninggalkan fungsi yang melekat padanya: senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keiklasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Ini adalah kalimat pada brata ketiga dalam Pedoman Hidup Polisi Indonesia yakni Tribrata.
Tribrata menjadi pedoman hidup Polri melalui sebuah penelitian yang panjang selama satu dasawarsa setelah republik ini diproklamirkan.
Penelitiannya dipimpin langsung oleh Guru Besar dan Dekan PTIK Prof. Djoko Soetono, S.H. menyongsong pra rancangan Undang-Undang Kepolisian yang sedang digodok ketika itu.
Kata-kata Tribrata pertama dikemukakan oleh Mahaguru Sastra sekaligus Dekan Fakultas Sastra UI merangkap sebagai Mendikbud saat itu, yaitu Prof. Dr. Priyono.
Kemudian secara resmi diucapkan oleh seorang mahasiswa PTIK pada prosesi wisuda kesarjanaan PTIK Angkatan II tanggal 3 Mei 1954, yang selanjutnya diresmikan sebagai Kode Etik pelaksanaan tugas Polri (yang dahulu disebut Pedoman Hidup) pada 1 Juli 1955.
Ada pertanyaan yang mengganggu: bagaimana mengayomi orang yang ia sendiri harus diayomi?
“Apapun, kamu harus mengayomi rakyat,” kata Robert de Niro yang berperan sebagai penjahat dalam film Heat (1995) kepada Robert de Niro yang berperan sebagai polisi LAPD (Los Angeles Police Departement).
Penjahat dalam film itupun menyadari posisinya sebagai pihak yang menjadi musuh abadi polisi. Karena itu ia sarankan sang polisi tetap memburu dirinya, apapun konsekwensinya. Mau jalan kaki sementara banditnya pakai mobil, mau pakai sepeda sementara penjahatnya naik kapal terbang, dan seterusnya.
Risiko kesenjangan teknologi itu akan terus ada sepanjang masa. Musuh abadi itu tak punya belas kasihan, sekalipun polisinya ketinggalan.
Brigadir Tonek tak perlu kecil hati. Ia merasa dirinya tak perlu diayomi. Ia telah melewati ujian musuh abadi itu.
Jika 1 Juli para jenderal polisi turun ke polsek-polsek menjadi inspektur upacara Hari Bhayangkara, maka Brigadir Tonek berbaris dengan sikap sempurna dalam palunan pasukan upacara.
Ia ingin mengingatkan kepada para jenderal polisi itu bahwa belum pernah ada sejarahnya kejahatan menang melawan kebaikan.
Polisi memainkan peranan kebaikan. Tapi jika ada polisi memainkan peran Robert de Niro dalam film Heat itu niscaya ia akan kalah.
Teknologi boleh tertinggal, tapi peran vital polisi harus senantiasa tidak tertinggal oleh godaan-godaan duniawinya.
Pangkat boleh brigadir kecil, tapi hatinya mesti komisaris besar.
Selamat pagi polisi. Selamat ulang tahun. Lapan anam, lapan satu tiga!