
Oleh : Zulkarnain Hasanuddin,SE,.MM.
Pemerintah adalah institusi yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengelola suatu negara atau wilayah, sehingga memiliki otoritas untuk membuat undang-undang dan peraturan untuk mengatur masyarakat dan semua sumber daya yang mendiami suatu wilayah, selain fungsi mengatur pemerintah sekaligus diberikan kewenangan dalam mengelola sumber daya dalam melaksanakan pelayanan publik, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga dan menjaga keamanan dan kenyamanan warganya.
Dalam menjalankan seluruh fungsi dan tugas pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dibutuhkan aparat yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang mampu mengimplementasikan seluruh kewenangan dan tugas yang menjadi tanggung jawab yang diberikan oleh negara, sehingga seluruh bentuk pelayanan publik dapat berujung pada keadilan dan kemakmuran sebagai cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Pemerintahan yang baik ( Good Governance ) sebagai visi pemerintah dalam menjalankan tata kelola institusi, dimana konsep tersebut merujuk pada pengelolaan kekuasaan dan sumber daya yang efektif, transparan, dan akuntabel, sebagai tools untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan yang sustainable.
Tentu dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik ( Good Governance ) tidak mudah sehingga dibutuhkan sebuah rul of the game serta perangkat (aparat) yang dihasilkan melalui sebuah sistem penjaringan / seleksi yang baik yang menempatkan seluruh aparat sesuai dengan kemampuan dan skillnya ( the right man on the right place and on the right job ), sehingga prinsip-prinsip berpemerintahan mampu dilaksanakan dengan baik.
Seluruh wilayah di indonesia pasca pelaksanaan pemilihan kepala daerah,akan membentuk struktur organisasi pemerintahannya dan tentunya memiliki visi yang sama yakni melaksanaan pemerintahan yang baik, dengan mengawali penempatan aparat dan pejabat struktural dengan sistem merit, namun tak sedikit dari daerah tersebut tidak mengedepankan sistem rekrutmen maupun penempatan aparatnya berdasarkan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki ( meritokrasi ), sehingga berdampak pada pelayanan publik yang tidak maksimal.
Banyak daerah menempatkan aparat dan pejabatnya lebih berbasis pada hubungan mutualisme politik yang terbangun dari kedekatan politik saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sehingga para pejabat ditempatkan karena hubungan patron – klien ( Patronase ) dan lebih sering didengar juga dengan nama loyalis.
Pola patronase selalu ada dalam kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah, jabatan-jabatan yang akan dikompetisikan sesungguhnya telah ditetapkan siapa yang akan mendudukinya, karena calon pejabat tersebut merupakan orang-orang terdekat dari seorang pemimpin atau pejabat yang lebih tinggi yang memiliki kuasa dalam mengatur keterpilihan aparat/pejabat yang diinginkan.
Oleh sebab itu muncullah sifat parkinson birokrasi yang mempunyai hawa nafsu, dan keinginan besar untuk memiliki staf dan bawahan yang banyak walaupun tidak diketahui apakah staf tersebut memiliki fungsional yang profesional atau hanya mencari jabatan saja tanpa memiliki tanggung jawab untuk melayani masyarakat.
Seringkali kita dengar bahwa musim pemilukada adalah musim dimana birokrasi terpecah belah, dan hal tersebut terjadi hampir semua wilayah dari pemilukada ke pemilukada, dimana jauh-jauh sebelum pemilukada dilaksanakan para birokrat sudah sibuk dengan apa yang disebut dalam istilah ” cari aman “.
Sistem patronase di indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, yaitu sejak era kolonial belanda, pada masa itu praktik patronase sudah menjadi bagian dari sistem pemerintahan, sistem feodal yang diterapkan belanda memperkuat budaya korupsi dan patronase, dimana para penguasa lokal sering memras rakyat untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Istilah patronase berasal dari bahasa latin “patronus” yang berarti pelindung atau penjaga, dalam sejarah romai kuno patronus adalah seseorang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar, dan memberikan perlindungan dan bantuan kepada orang lain yang lebih lemah dan kurang beruntung sedangkan klien berarti memberikan kesetiaan, dukungan, jasa kepada patron.
Namun dalam perkembangannya patronase dibangun dalam relasi yang didasari dengan hubungan mutualisme politik dimana mereka membuat perjanjian undertable untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan sesuai dengan jasa politiknya. Atau dapat pula kita artikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya.
Dampak dari pola patronase dalam penempatan para pejabat akan menciptakan pejabat yang korup, pelayanan publik yang tidak maksimal serta program-program yang dilaksanakan tidak memilki dampak yang menyelesaikan permasalahan rakyat, karena pejabat pengelola pemeritahan tidak memiliki moral call dan moral crisis sebagai guiden seorang aparat dalam mengemban amanah yang diberikan.
Pemerintahan akan berjalan efektif jika penempatan pejabat dan aparat menggunakan sistem meritokrasi dimana posisi dan kesempatan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi, kesetaraan dan objektiftas, sehingga akan meningkatkan efisiensi, meningkatkan motifasi dan mengurangi nepotisme, walaupun tentu sistem meritokrasi ini tetap memiliki kekurangan seperti ketimpangan, pengaruh faktor luar dan kepercayaan diri yang berlebihan ( over cofidence ), yang menyebabkan loyaliyasnya pada pimpinan berkurang ( kasuistik )
Namun sistem ini jauh lebih baik daripada sistem patronase sehingga dalam mewujudkan good governance dan clean governance tidak sulit karena para pejabat dan aparat pemerintah memiliki target pencapaian dari kinerja yang mereka laksanakan karena memiliki kapasitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan instansi.
Dampak nyata pada publik yang akan ditimbulkan dalam sistem patronase adalah kurangnya kepercayaan ( trust ) publik pada pemerintah, sehingga pemerintah akan kesulitan dalam melaksanakan program-programnya, karena partisipasi rakyat akan berkurang dan bahkan akan apatis dan tidak ada keinginan untuk terlibat, sehingga visi-misi pemerintah tidak tercapai.
Pada Konteks indonesia pemaknaan meritokrasi secara khusus diatur dalam UU nomor 20 tahun 2023 pengganti UU nomor 5 tahun 2014 tentang aparatus sipil negara, aturan ini secara eksplisit menekankan sistem merit sebagai landasan dalam proses pengisian ASN.
Meritokrasi dalam aturan ini dimaknai sebagai kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur serta kondisi kecacatan. Artinya meritokrasi didasarkan pada kesempatan yang sama untuk setiap individu yang tetap mengedepankan kompetensi dan kapasitas setiap individu.
Patronase dan meritokrasi keduanya juga terkadang menjadi pola yang dijalankan dalam waktu yang sama bagi setiap pemimpin wilayah / kepala daerah,( mix sistem ), tergantung posisi apa yang akan ditempati oleh aparat ASN/pejabat, karena secara politik para pemimpin daerah yang terpilih memiliki beban politik pada setiap individu atau organisasi yang membantu dalam pemenangannya, sehingga salah satu jalan pintas yang akan dilakukan dengan menebus janji politiknya dengan memberikan posisi ( jabatan ) sebagai bentuk balas budi.
Fenomena tersebut hampir semua daerah menjadi sesuatu yang permissif bahkan tidak banyak yang menyoroti,karena paradigma yang terbangun di publik adalah sebuah kewajaran dan tidak perlu mendapat respon, padahal penempatan pejabat yang basisnya patronase maupun meritokrasi adalah langkah awal dalam mewujudkan pelayanan publik yang efektif, efisien dan berdampak langsung pada rakyat ataupun sebaliknya, sehingga publik harusnya ikut ambil peran ( partisipasi ) dalam melakukan kontrol dalam pelaksanaan penempatan pejabat di daerahnya masing-masing, agar setiap pemimpin didaerahnya tetap mengedepankan sistem meritokrasi dalam pengisian posisi dan jabatan pada setiap level jabatan pada instansinya.
Dan pada akhirnya pemerintah yang baik dan efektif ( good govermen ) adalah pemerintah yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat sehingga terwujud tata kelola pemerintahan yang mengedepankan tranparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensidan keadilan sebagai kunci pemerintahan yang efektif ( good governance ).
Dan mewujudkan pemerintahan yang baik tentu dimulai dari pola penempatan pejabat dan aparatnya yang memiliki kemampuan dan kapasitas dalam menerjemahkan visi misi dan program pemimpin daerahnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan, sehingga pemerintah akan mendapat apresiasi besar dari masyarakat karena memiliki pemerintahan yang kuat, bersih dan menjunjung profesionalisme dalam menjalankan roda pemerintahan. (*)