Lulusan dari berbagai institusi pendidikan yang terus membludak melahirkan kaum terpelajar dalam konteks pencapaian studi. Sedangkan pada lini perguruan tinggi menelurkan sarjana hingga doktor yang notabenenya dianggap kaum intelektual.
Banyaknya kaum terpelajar yang kini lahir tak lantas menyelesaikan masalah dan ketimpangan sosial yang terus berkuasa menjerat para pembajak sawah yang bertopi jerami dan pengayuh sepeda yang membungkuk demi sesuap nasi.
Pada kenyataannya, kaum terdidik justru terlilit dalam lingkungan kekuasaan, dunia hedonis, dan penikmat jerih payah kaum rakyat jelata.
Kondisi ini menjauhkan makna pendidikan yang secara lugas diimpikan oleh para leluhur bangsa ini, Sampai-sampai Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa “pendidikan itu memanusiakan manusia”.
Makna tersebut tentu sangat dalam, bahwa setiap yang melalui pendidikan kemudian mampu menjadikan kaum tidak terpelajar menjadi manusia, bukannya kemudian menjadikan mereka alat pemuas keegoan atas nafsu kekuasaan.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Kutipan tersebut adalah salah satu kutipan dari tokoh Republik Indonesia yang dalam catatan sejarahnya banyak melakukan aktivitas pergerakan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan indonesia. Bahkan, sampai saat ini masih banyak pelajar yang mengonsumsi pemikirannya yang cemerlang.
Ungkapan Tan Malaka tersebut adalah tamparan keras bagi para pelajar yang telah meraih tingkatan pendidikan dalam perguruan tinggi yang enggan melebur dengan masyarakat bawah karena merasa dirinya terlalu tinggi dan pintar.
Banyak fakta sosial yang bisa kita jadikan bukti atas ungkapan tersebut, bahwa di zaman sekarang kebanyakan masyarakat telah dibawa ke dimensi kehidupan yang individualis, yang hanya memaknai gelar pendidikan sebagai ajang jago-jagoan, bahkan untuk mendapat keuntungan materi semata.
Semoga saja para pelajar yang akhir-akhir ini telah berhasil mendapatkan gelar pendidikan tinggi tidak menjadikan gelar sebagai ajang jago-jagoan, apatah lagi menggunakan kecerdasan untuk mendukung para pelaku kezaliman yang hanya akan menciptakan keresahan sosial.
Saya jadi teringat ketika menghadiri kegiatan diskusi yang bertujuan membedah salah satu buku. Di pertemuan tersebut, ada hal yang membuat harapan saya tak sesuai dengan realita.
Ini disebabkan karena adanya seseorang bergelar profesor yang menurut saya hanya hadir untuk mempertontonkan kehebatan gelar dan jabatannya. Akibatnya, kesombongan telah merajalela untuk seseorang sekelas profesor yang harus mampu mencerahkan.
Mungkin inilah fakta sosial yang dimaksud oleh Tan Malaka sebagai orang yang menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar.
Anehnya, dalam pemaparan profesor tersebut, dinyatakan bahwa Tuhan mengizinkan seseorang untuk mencuri. Menurut saya, pernyataan ini perlu didudukkan secara bersama karena sebuah kemustahilan jika Tuhan mengizinkan untuk mencuri sementara mencuri adalah perilaku yang dilarang-Nya.
Mungkinkah ada sesuatu seperti mengizinkan sekaligus melarang, sama halnya dengan menyuruh orang duduk sekaligus berdiri?
Hal ini terasa aneh meskipun dipahami tanpa dalil naqli. Cukup menggunakan dalil aqli pernyataan tersebut tentu dirasa bertolak belakang dengan akal sehat kita karena bagaimanapun mencuri adalah perilaku yang bertolak belakang dengan fitrah manusiawi.
Mungkin saja saya yang keliru dalam memaknai realitas sosial ini. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa jika kecerdasan digunakan hanya untuk menindas dan menzalimi, saya yakin keterpurukan kaum lemah akan semakin meningkat sehingga hanya menghadirkan duka lara yang berkepanjangan.
Apatah lagi jika produk-produk intelektual masa kini telah terjebak dalam kubangan kehidupan materialis yang hanya mendambakan materi semata dan akan membentuk pola hidup yang pragmatis dan hedonis.
Tak bisa kita pungkiri, setiap saat realitas telah bercerita kepada kita bahwa saat ini corong kompromi telah terbuka dimana-mana sehingga mengakibatkan semangat kemerdekaan manusia telah lumpuh dalam mengungkap kebenaran, kebenaran telah dianiaya dengan lika-liku kemunafikan, banyak yang berteriak tentang kebenaran namun menzolimi kebenaran, banyak yang merasa paling benar namun menyalahkan kebenaran, bahkan yang paling menyayat hati adalah ketika berteriak dengan dalil agama untuk membantah kebenaran.
Mungkin saja dari beberapa penggambaran realitas yang saya sampaikan, ini hanya subjektifitas saya dalam memahami realitas sosial. Namun, yang kutahu kebenaran tak akan pernah lenyap dan akan senantiasa bersemayam dalam jiwa-jiwa yang tenang serta akan tetap berjuang dan marah terhadap kesombongan dan ketidakadilan di setiap dimensi kehidupan.
Semoga saja para pelajar negeri ini senantiasa menyadari tanggung jawab gelar intelektualnya dengan berperilaku selayaknya seorang pelajar dengan selalu hadir menjadi pilar cahaya di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan arti kepada masyarakat, bukan hadir untuk merendahkan mereka yang membutuhkan kecerdasan kita sebagai seorang pelajar.
Saudara-saudariku yang telah mencapai gelar atas perjalanan belajarnya dalam dunia pendidikan, semoga saja tak menjadi seorang pelajar yang tak terpelajar yang hanya akan menambah terbukanya corong kompromi.
Sebaliknya, jadilah seorang pelajar yang sadar akan tanggung jawab intelektualnya untuk memberikan arti dan manfaat pada kehidupan bermasyarakat dan menutup kembali corong kompromi yang selama ini menunggu untuk ditutup untuk memberikan yang berhak menerima dan tidak memberikan kepada yang tak berhak menerima.Karena yang kutahu dengan terbukanya corong kompromilah yang mengakibatkan hak orang banyak tak sampai kepada nya.
Salam intelektual untuk kita semua, semoga Tuhan senantiasa membimbing dan mengasihi akal kita kecerdasan yang senantiasa bergerak bersama kebenaran.(*)