Ir. Linggi bersama salah satu mesin buatannya
Mamasa, mandarnews.com – Jika kaum terdidik setelah proses belajar di sebuah universitas dominan memilih ke kota atau bekerja pada perusahaan ternama bahkan instansi pemerintah, lain halnya dengan Ir. Linggi yang lebih memilih tinggal di kampung halamannya dan mengupayakan perubahan.
Hari sedikit mendung saat roda dua kupacu menuju desa bagian timur Kecamatan Sumarorong melintasi jalan poros Tabone-Nosu dengan agenda awal hendak mencari bibit buah alpukat ke Desa Banea’ yang katanya cukup banyak dibudidayakan masyarakat setempat.
Di dalam perjalanan terlihat beberapa mesin bubut, mesin las, serta jenis mesin lainnya yang belum kuketahui namanya berderet-deret rapi.
Pada bagian atas bangunan tersebut juga nampak kandang ayam petelur yang jumlahnya cukup banyak sehingga menarik perhatian.
Saat bertanya ke warga, ternyata tempat tersebut milik Ir. Linggi yang namanya sudah tidak asing lagi bagi warga Mamasa.
Perjalanan terhenti sejenak di kediaman Ir. Linggi yang sementara dalam proses pembangunan. Hanya beberapa menit setelah dipersilakan salah satu anggota keluarga untuk masuk rumah, terlihat lelaki paruh baya dengan celana sampai lutut dan kaos berkerah yang lusuh.
“Oh ada tamu. Dari mana? Apa yang bisa dibantu?” ujarnya.
Sontak saya menjawab bahwa saya mencari Ir. Linggi karena hendak mewawancarai beliau atas beberapa inovasi yang sering menjadi bahan perbincangan masyarakat.
“Saya sendiri orangnya. Silakan kita minum kopi terlebih dahulu,” kata pria berkaos lusuh yang ternyata Ir. Linggi yang saya cari.
Wajahku sempat merah padam sebab beranggapan orang seluar biasa ini hanya berpenampilan biasa saja dan sedikit malu sebab seorang jurnalis tidak mengenali persis wajah yang cukup dikenal ini.
Pria lulusan Jurusan Mekanisasi Fakultas Pertanian Universitas Hasunuddin (Unhas) Makassar tahun 1992 ini cukup lama menggeluti pendidikan di dunia kampus, yaitu sekitar delapan tahun lantaran skripsi berjudul “Mempelajari Penggunaan Turbin dalam Menggerakkan Daya Generator” yang diajukan ke dosen pembimbingnya tidak direspons positif karena dinilai cukup berat dan memerlukan biaya besar.
Sejak masuk kampus di tahun 1984 lalu mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di tahun 1988, selama itu ia menggeluti judul proposal yang diajukan namun terus ditolak.
“Saya bersyukur karena didukung orang tua dalam penelitian meksipun harus jual sawah untuk pembiayaan. Tahun 1992 pada umur 27 tahun saya berhasil membangun turbin bahkan diresmikan Bupati Polmas barulah judul saya diterima di kampus,” tutur Ir. Linggi.
Anak keempat dari enam bersaudara dari ayah bernama Darra dan ibu bernama Maroa ini setelah kuliah lebih memilih ke kampungnya di Batangnguru lantaran ingin mengembangkan hasil penelitiannya.