Pada tahun 1992-1998, turbin yang ia bangun belum populer di masyarakat. Namun, semenjak adanya Program Pengembangan Kecamatan (PKK), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Program Bantuan Luar Negeri, barulah di tahun 2005 mulai berkembang di masyarakat.
Ayah dari lima anak tersebut menjelaskan, yang melatarbelakangi dirinya semangat untuk membangun turbin di Batangnguru adalah jika ingin belajar di malam hari hanya mengandalkan pelita, bahkan aktivitas masyarakat di malam hari sangat terbatas karena faktor penerangan.
Setelah turbin banyak diminati masyarakat, hampir 70% desa se-Mamasa menggunakan turbin. Namun, setelah listrik masuk, turbin mulai kurang diminati. Alasannya, repot saat ada gangguan pada saluran air karena mesti diperbaiki secara gotong-royong lagi dan tentu energi listrik tidak stabil jika tidak diperbaiki.
“Saya tetap mengembangkan turbin, namun fungsinya lebih pada industri rumah tangga dan penggerak mesin pertanian sehingga peran turbin tetap ada. Tanpa harus tambah daya meteran listrik ke PLN sebuah usaha tetap jalan,” sebut Ir. Linggi.
Biasanya, lanjutnya, yang dipasarkan hanya mesin pembangkit listrik saja dengan energi listrik 5.000-30.000 watt.
“Soal harga tergantung energi yang dihasilkan dan kondisi tempat pembangunan turbin. Paling murah per unit Rp 50 juta dan paling mahal Rp 200 juta,” ucap Ir. Linggi.
Ia menceritakan, saat dalam pertemuan Yayasan Turbin sempat ditanyakan soal siapa pekerja yang digunakan merakit mesin turbin.
“Saya jawab hanya masyarakat putus sekolah di SD atau SMP, lalu diberikan pendampingan dengan pertimbangan mereka ini orang-orang yang tidak akan diserap pada dunia kerja,” tutur Ir. Linggi.