Selain turbin, Ir. Linggi juga menciptakan kompor ramah lingkungan dengan bahan bakar kayu namun lebih irit.
“Jika sebelumnya harus menghabiskan 10 kayu bakar saat memasak air, lewat kompor yang kami tawarkan seharga Rp 500-600 ribu hanya menggunakan dua potong kayu saja,” tukas Ir. Linggi.
Ia menjelaskan, kompor ini dibuat lantaran proses distribusi gas elpiji kadang jadi kendala di masyarakat sekaligus mengurangi penggunaan kayu bakar secara berlebihan.
Selain itu, inovasi pada ternak ayam petelur dan ternak babi juga dikembangkan. Sebab selain membangun lapangan kerja bagi masyarakat, penggunaan pakan dari bahan dasar jagung dapat memancing kemauan masyarakat bercocok tanam jagung sebab tiap hari dibutuhkan 400 kg jagung.
Pakan pada ternak ayam dan babi tersebut diolah sendiri dengan mesin yang dibuat sendiri olah Ir. Linggi sehingga proses pemeliharaan tidak tergantung pada produk industri yang ada di pasaran.
Ir. Linggi berharap, generasi tidak hanya berpikir untuk sekolah dan mencari pekerjaan lalu diupah namun bagaimana generasi menciptakan pekerjaan lalu mengupah.
“Saat sekolah jangan hanya semangat memiliki ijazah, namun bagaimana memiliki semangat pengetahuan sebab ijazah dapat lusuh dan hilang namun pengetahuan tidak demikian,” pesan Ir. Linggi.
Pemikir dari Batangnguru ini pada prinsipnya tidak tertarik jika gelar pendidikannya ditulis, namun menurut pertimbangan penulis, kadang gelar menjadi patokan masyarakat sehingga perlu dituliskan. (Hapri Nelpan)
Editor: Ilma Amelia