Salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah di era otonomi ini ada persoalan tanah. Baik antar pemerintah dan warganya maupun antar warga, kerap terjadi.Permasalahan ini diakui Wakil Bupati Majene Fahmi Massiara.
"Persoalan tanah hampir tiap tahun menuai masalah, bahkan hampir semua berujung di meja hijau," kata Fahmi.
Menyikapi masalah ini, ia menghimbau agar tiap leading sector memahami kandungan dalam UU No 2 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan pemahaman itu, diharapkan dapat meminimalisir tiap permasalahan tanah yang kerap menyebabkan pembangunan terhambat.
"Pada prinsipnya Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat seperti untuk pembangunan infrastruktur, tambang minyak & gas, panas bumi, waduk, pelabuhan, dan banyak lainya," jelas Fahmi.
Hal ini disampaikan saat membuka sosialisasi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden no 17 tahun 2012 tentang penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum. Sosialisasi digelar pada 12 November di Ruang Pola Kantor Bupati Majene. Bagian Pemerintahan Kabupaten Majene sebagai penanggungjawab kegiatan.
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Majene, Drs I Agustin Samosir. M. Eng.Sc, mengatakan bagi instansi yang memerlukan tanah harus memulai dengan melakukan perencanaan pengadaan tanah yang di dasari Rencana Tata Ruang dan Rencana Tata
Wilayah (RTRW) dan prioritas pembangunan yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kegiatan Pembangunan (RKP). Setelah itu, lanjut dia, menyusun program dalam dokumen perencanaan yang terdiri dari letak tanah, luas tanah, perkiraan nilai tanah hingga rencana penganggaran.
Kepala BPN yang menjadi pemateri dalam sosialisasi ini menambahkan, setelah tahap perencanaan , instansi yang memerlukan tanah melakukan persiapan, pelaksanaan hingga penyerahan hasil nantinya.
Sementara itu terkait besaran nilai ganti kerugian, ditentukan oleh penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dilakukan per bidang tanah, meliputi tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.
Lebih jauh dikatakan, setelah itu dilakukan musyawarah bentuk penilaian ganti rugi yang mengikut sertakan instansi yang memerlukan tanah. Selanjutnya pemberian ganti rugi berupa uang 7 hari kerja, tanah pengganti 6 bulan, permukiman kembali 6 bulan, kepemilikan saham hingga bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
"Pemberian ganti rugi dalam keadaan khusus yakni kerugian bagi pihak yang berhak dalam keadaan mendesak diberikan maksimal 25 pesen," paparnya.
Untuk biaya yang mencakup persiapan, pelaksanaan penyerahan hasil administrasi dan pengelolaan sosialisasi seluruhnya di tanggung instasi perencanaan yang bersangkutan.(iga)