Pemberian vaksin MR
JAKARTA – Perumusan hukum fiqh dimaksudkan sebagai cara untuk mendapatkan pencapaian maksud disyariatkan agama yang mencakup 5 hak dasar manusia (al-dlaruriyyat al-khamsah) yakni hifdzh al-din (menjaga agama), hifdzh al-nafs (menjaga jiwa), hifdzh al-‘aql (menjaga akal sehat), hifdzh al-nasl wa al-‘irdl (menjaga keturunan dan harga diri) dan hifdzh al-mal (menjaga harta benda).
Kelima hak dasar tersebut menjadi rujukan utama dalam memberikan hukum fiqh, termasuk kepada hukum yang semula (hukum asal) sudah jelas halal dan haramnya. Pembahasan vaksin MR merupakan bagian dari upaya pemenuhan hifdzh al-nafs dan hifdzh al-nasl wa al-‘irdl.
“Keduanya menjadi bahan pertimbangan utama dalam hal hukum penggunaan vaksin MR. Bila ditemukan dalil (dasar argumentasi, nash atau non-nash) yang menjadikannya berstatus darurat (dlaruriy), maka hukum asal keharaman menjadi patut dipertimbangkan,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Abdul Ghoffarrozin.
Ada banyak keadaan obyektif yang menunjukkan tingkat bahaya penyakit rubella yang akan dialami anak usia 9-15 tahun, jika tidak mendapatkan imunisasi vaksin MR. Dalam pandangan madzhab Hanafi dan Maliki, keadaan perubahan dari daging babi ke dalam bentuk lain, sudah menjadi alasan perubahan sebuah hukum dari semula haram menjadi halal. Adanya sebuah kekhawatiran tentang sebuah kejadian penyakit berat, itu sendiri sudah termasuk menjadi prasyarat keadaan darurat.
“Sedangkan dalam pandangan madzhab Syafii, mengingat potensi dan bukti bahaya pengabaian vaksin MR, maka keadaan tersebut sudah termasuk keadaan darurat,” jelasnya.
Dalam fatwa yang akhir-akhir ini dikeluarkan Bin Baz, juga menyatakan penggunaan vaksin MR adalah darurat. Dalam posisi yang memenuhi prasyarat darurat, maka pemerintah bukan hanya saja diperbolehkan memberikan vaksin MR kepada warga negara, melainkan bila merujuk kepada pendapat mayoritas adalah wajib.
“Tentu saja dengan persyaratan harus dilakukan dengan sosialisasi yang baik,” katanya.
Keadaan darurat adalah keadaan ad hoc (sementara) dan akan hilang bilamana alasan daruratnya telah hilang. Pada saat bersamaan, semua pihak yang berwenang atau berkompeten tetap memiliki kewajiban untuk berusaha agar alasan darurat dapat dihilangkan, menuju ke hukum asal sebuah keadaan. Karena itu, pemerintah harus mengusahakan agar komponen babi dalam vaksin MR dapat digantikan unsur lain yang halal.
Vaksin MR memberi tantangan dan pembelajaran penting bagi umat Islam. Pembuatan vaksin MR dan berbagai vaksin lain banyak dilakukan di negara-negara dan orang-orang yang memang tidak keterkaitan dengan tingkat hukum halal dan haram.
Selain itu, dua hewan yang banyak menjadi bahan pembuatan vaksin adalah babi dan monyet. Keduanya bukan merupakan binatang yang halal menurut hukum fiqh.
“Ini tantangan umat Islam yang sungguh penting dicermati. Sedangkan pembelajaran yang perlu dipetik adalah perkembangan fiqh yang kian luas dan membutuhkan kompetensi,” pungkasnya.(rizaldy/KSP)