“Munculnya penyakit ini dan juga penyakit lain terutama disebabkan menurunnya ketahanan tanaman akibat ketidakmampuan petani/pekebun untuk merawat kebun sesuai standar. Hal ini utamanya dikarenakan turunnya harga karet pada level rendah dalam rentang waktu yang lama,” tutur Kasdi.
Adapun upaya pemerintah dalam membantu petani untuk mengendalikan penyakit tersebut meliputi pengendalian dengan menggunakan fungisida berbahan aktif heksakonazol atau propikonazol dan memberikan bantuan pupuk untuk meningkatkan ketahanan tanaman karet terhadap serangan penyakit tersebut.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud membeberkan, Indonesia memiliki perkebunan karet dengan luas yang mencapai 3,66 juta ha pada tahun 2017.
“Luasan tersebut memberikan kontribusi produksi sebesar 3,68 juta ton dan produktivitas 1,19 ton/ha,” tukas Musdhalifah.
Perkebunan karet Indonesia, lanjutnya, didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar 85% dan menciptakan lapangan kerja bagi 2,5 juta Kepala Keluarga (KK) dengan rata-rata luas kepemilikan +1,25 ha.
“Karet merupakan salah satu andalan ekspor yang berkontribusi besar terhadap devisa negara. Volume ekspor mencapai 2,99 juta ton dengan nilai US$ 5,10 milyar,” ungkap Musdhalifah.
Mengenai harga karet, Musdhalifah memaparkan bahwa telah mengalami peningkatan sejak bulan Januari 2019.
“Saat ini, harga karet TSR 20 di tingkat internasional berada di atas USD1,4/kg. Pemerintah akan terus menjaga produktivitas dan harga karet alam, termasuk dengan menangani penyakit gugur daun karet ini, peremajaan karet rakyat, maupun upaya-upaya lainnya,” imbuh Musdhalifah.
Hadir dalam kesempatan ini antara lain, Direktur Riset dan Pengembangan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Gede Wibawa, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo, dan perwakilan dari kementerian/lembaga terkait. (rilis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian)
Editor: Ilma Amelia