Foto : Karakterunsulbar.com
Majene, mandarnews.com – Perda tentang retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol atau minuman keras (miras) menuai polemik dari banyak kalangan sejak disahkan, Kamis 28 Desember 2017.
- Baca juga : Aturan Retribusi Tempat Penjualan Miras Disahkan
Akhirnya, Pemerintah Daerah (Pemda) dan DPRD Majene sepakat untuk mengusulkan pembatalan Perda itu ke Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar). Kabag Hukum Setda Majene, Yusuf Ali mengatakan, surat pengusulan pembatalan itu akan dibawa ke gubernur, Rabu 3 Januari 2018.
“Jadi begini karena banyaknya unsur yang memasukkan usul melalui surat sehingga diputuskan untuk dibatalkan,” kata Yusuf saat ditemui di ruangannya, Selasa 2 Januari 2017.
Surat penolakan itu berasal dari berbagai elemen masyarakat. Seperti MUI, BKMT, STAIN, FKUB dan PDIP Majene. Menurut Yusuf, Pemda tidak berupaya mempertahankan Perda itu dengan dialog lantaran menghindari kesalahpahaman.
Dosen hukum tata negara Unsulbar, Putera Astomo, MH menyatakan, Pemda dan DPRD tidak boleh serta merta mengusulkan pembatalan Perda yang sudah disahkan.
“Tidak bisa DPRD atau Pemda yang membatalkan Perda yang mereka telah lahirkan, ada prosedurnya secara hukum,” kata Putera yang juga kandidat doktor Hukum di Undip Semarang.
Menurut Astomo, jika ada rencana Perda dibatalkan, terdapat dua mekanisme. Pertama eksekutif review, Pemda mengusulkan pengujian Perda yang sudah ditetapkan ke tim yang dibentuk gubernur.
Hal ini berdasarkan berdasarkan Permendagri nomor 80 tahun 2015 pasal 142. Cara ini, tim gubernur akan menguji Perda itu bertentangan aturan diatasnya atau kepentingan umum masyarakat atau tidak.
“Yang bisa dilakukan Pemda, mengajukan Perda yang sudah disahkan itu untuk diuji. Apakah benar bertentangan dengan dua unsur (peraturan diatasnya dan kepentingan umum). Pemda hanya mengusulkan untuk diuji, bukan dibatalkan,” jelas Astomo.
“Rancu kalau dibilang pembatalan, pertanyaan saya , logiskah Pemda membatalkan sendiri produk hukumnya yang sudah disetujui bersama DPRD dan setujui kepala daerah,” jelasnya.
Kedua, yudisial review, masyarakat yang diwakili ormas atau LSM yang punya legal standing mengusulkan pembatalan ke gubernur dan tim yang dibentuk akan bekerja. Lalu, Perda itu akan diuji di Mahkamah Konstitusi.
- Baca juga : Baru Disahkan, Perda Miras akan Dibatalkan
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Pemilu dan Politik Lokal (PUSMIPOL) FISIP Unsulbar, Farhanuddin menilai polemik yang terjadi setelah perda lahir adalah akibat kurangnya pelibatan masyarakat saat pembahasan Perda.
“Masyarakat termasuk ormas keagamaan tidak pernah diminta pendapat bagaimana seharusnya perda tentang miras, akhirnya ketika lahir, semua kaget dan baru menyampaikan protesnya,” kata dosen Ilmu Polik tersebut.
Menurut Farhan, sejak tahun 2012, Majene sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah nomor 21 tahun 2012 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Majene.
Ia meminta eksekutif sebagai pelaksana Perda menjelaskan ke publik, sudah sejauh mana efektifitas pelaksanaan Perda yang tahun 2012, dan alasan mengusulkan Perda miras tahun 2017.
“Aspirasi yang berkembang, masyarakat justru meminta perda yang dibuat itu adalah perda pelarangan miras sesuai muruah Majene sebagai kota pendidikan dan daerah religius,” tambahnya. (Irwan Fals)