Majene, mandarnews.com – Lembaga Adat Adolang, Anak Pattola menggelar diskusi panel dengan membahas Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Majene nomor 11 tahun 2015 tentang Pelestarian Lembaga Adat dan Nilai-nilai Budaya Adat Istiadat, Selasa 5 September 2017 kemarin.
Diskusi budaya yang digelar di Kantor Desa Betteng, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar) itu dihadiri langsung Ketua Pansus Perda tersebut, Basri Ibrahim. Termasuk akademisi, Ardiansyah Alwi selaku pemateri dan koordinator Anak Pattola, divisi advokasi dan pemeliharaan aset lembaga Adat Adolang.
Meski telah berumur hampir tiga tahun, Perda itu mendapat sejumlah kritikan dari Ardiansyah. Menurutnya, sejumlah kesalahan terdapat dalam sejumlah kesalahan. Mulai dari konsideran sampai pasal dalam Perda tersebut terdapat kesalahan.
Salah satu kesalahan tersebut adalah konsideran atau dasar pertimbangan itu dibuat. Hal tersebut adalah pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Ternyata isi yang dimaksud tidak ada kaitannya dengan Perda nomor 11 tahun 2014 tersebut.
“Pasal 88, ayat 1, Pendirian BUM Desa disepakati melalui musyawarah desa. Ayat 2, Pendirian BUM Desa yang dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Desa,” isi pasal 88 dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Padahal dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang seharusnya dipakai adalah pasal 18 dalam UU tersebut. Isinya, kewenangan Desa meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
- Download UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, Klik Disini
“Memang dalam pelaksanaan itu harus ada evalausi atau revisi, perlu ada perbaikan dalam Perda itu. Kalau memang benar-benar mau disosialisasikan ke masyarakat, harus ada perbaikan,” kata Dosen Universitas Balikpapan (Uniba) Kalimantan Timur (Kaltim) ini.
Tak hanya itu, akademisi alumni hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini juga mengkritik sejumlah kalimat dalam Perda tersebut. Ia menilai, ada sejumlah kalimat yang multi tafsir. Hal tersebut berada pada Bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 8 dalam perda tersebut.
“Tapi yang dimasukkan dalam perda itu belum jelas maksudnya apa, masih multi tafsir. Bahkan ada kata-kata masyarakat lainnya, masa’ dalam lembaga adat yang organisasi masyarakat, ada kata masyarakat lainnya, kalau begitu masyarakat lainnya bisa juga dong membentuk disini,” tutur Ardiansyah saat ditemui setelah diskusi panel.
Dalam diskusi, Basri Ibrahim mengatakan, hanya ada dua lembaga adat yang ia tahu. Lembaga adat yang dimaksud ada di Ulumanda dan Adolang. Hal tersebut sangat disayangkan Ardiansyah. Menurutnya, sebelum Perda itu jadi harus dilakukan kajian lebih mendalam dengan menginvertarisir semua lembaga adat di Majene.
“Seharusnya pada saat sebelum ada naskah akademik ada kajian dulu. Ada gak lembaga adat di kabupaten (Majene)?,” kata Ardiansyah.
Sementara itu, Basri Ibrahim telah dikonfirmasi soal kritikan dari akademisi ini. Ia mengakui kesalahan atas konsideran pada Perda tersebut.
“Yang pertama memang ada kesalahan tekhnis.Saya kira itu tidak terlalu menjadi substansi,” kata Basri Ibrahim.
Soal kata “masyarakat lainnya” yang dinilai multi tafsir, Basri Ibrahim menyebutkan, hal itu ditujukan bagi masyarakat Mandar Majene yang berada di luar Sulbar. Agar nilai-nilai budaya tetap dipertahankan.
Basri Ibrahim juga mengakui soal sosialisasi saat masih dalam bentuk Ranperda ini belum maksimal. Ia menyebutkan, sosialisasi telah dilakukan tapi belum secara menyeluruh dilakukan di Majene.
“Setelah jadi Perda, tugasnya Pemda untuk mensosialisasikan,” tegas Basri Ibrahim.
Selain itu, Basri Ibrahim menyebutkan, pihaknya akan melakukan peninjauan ulang. Apalagi Perda nomor 11 tahun 2015 itu sudah hampir berumur tiga tahun.
“Pada konsideran akhir dari aturan itu atau aturan itu apapun namannya, apa bila dikemudian hari ditemukan kesalahan misalnya atau kekeliruan itu bisa ditinjau kembali,” jelasnya.
Ia berharap agar masyarakat Majene memanfaatkan Perda ini sebagai wadah untuk melestarikan budaya. Basri Ibrahim juga akan mendesak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dispubdar) untuk menginvertarisir lembaga adat di Majene. (Irwan Fals)