Penulis: Iin Amrina, S. Kom.
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas II Polewali, Sulawesi Barat)
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Oleh karena itu, kepentingan terbaik untuk anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik kelangsungan hidup umat manusia. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan.
Perlindungan terhadap anak telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Di dalam deklarasi hak-hak anak disebutkan pula bahwa anak karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah dilahirkan.
Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 1 angka (3) adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Perilaku yang melanggar norma ini tidak hanya bisa dilihat pada masyarakat dewasa, namun anak-anak pun tidak luput dari perilaku yang menyimpang dan tidak jarang melanggar hukum.
Ada banyak faktor mengapa anak-anak melakukan tindakan kriminal sehingga melanggar hukum, bahkan tak sedikit anak-anak di bawah umur yang dipenjara.
Kasus anak berhadapan dengan hukum terjadi hampir di setiap daerah. Balai Pemasyarakatan (Bapas) Polewali yang bertugas melakukan penelitian, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak dan klien pemasyarakatan mencatat permintaan penelitian kemasyarakatan (litmas) klien anak yang berkonflik dengan hukum atau disebut sebagai anak berjumlah 241 kasus.
Dari jumlah tersebut, 202 kasus diselesaikan melalui diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sedangkan 39 anak menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Kelas II Mamuju.
Perlu diketahui, penanganan perkara pidana terhadap anak memiliki perbedaan dengan penanganan perkara pidana terhadap orang dewasa.
Penanganan perkara pidana terhadap anak diatur sendiri di dalam peraturan yang mengaturnya. Ada beberapa ketentuan yang mengatur terkait dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, kemudian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Peraturan Jaksa Agung No.06/A J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi.
Seluruh peraturan tersebut meliputi proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan.
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum berumur 18 tahun, ia akan diajukan sidang ke pengadilan setelah anak tersebut melampaui batas umur 18 tahun. Jika belum mencapai umur 21 tahun, maka ia tetap diajukan ke sidang anak sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua atau wali dan atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan jika Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Selanjutnya, hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak-anak. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan keutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dengan orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
Dengan mendapatkan berbagai pembinaan berdasarkan perlindungan narapidana anak, maka narapidana anak diharapkan bisa menentukan dan mendapatkan kembali jati diri alamiahnya sebagai manusia yang hidup dan mempunyai tujuan hidup yang lebih baik. (*)