Senyum menghias tetap di bibir sang rupawati. Ia duduk di atas pelana bak duduk di sofa, santai. Padahal tubuh digoncang, diombang-ambing kuda yang berjalan sambil melenggak-lenggok, mengangguk-angguk sembari mengais dan menancap-nancapkan kaki. Ya kuda menari itu mengguncang penunggangnya.
Itulah gadis Mandar (To Tammaq) sedang menjalani kepuasan batin setelah berhasil mengkhatamkan kitab suci (Al-Qur’an). Ia diarak keliling kampung menunggang kuda tari (Saeyang Pattu’duq) dengan kawalan para Pesarung (orang yang mengapik kuda).
Demikian pulalah gambaran gadis Mandar yang sabar dan tenang tapi berani menghadapi segala cobaan dunia. Ia tidak berani menghadapi binatang bahkan menungganginya. Ia tetap tersenyum meski sedang berjuang melawan goncangan. Pandangannya tetap syahdu berhias senyum menghadapi menggapai asa. Karena keanggunanannya, kesabarannya, ketenangannya, keberaniannya, para lelaki rela menjadi pengawalnya, dan memayunginya. Ia dicintai, dilindungi, dan dipuji.
Pujian terus terlontar ke wajah sang gadis membuat senyumnya semakin lebar, tapi tetap tenang dan waspada. Senyum itu mampu menghipnotis ratusan orang penyaksi yang berjejer sepanjang rute arak-arakan sehingga tak bergeming oleh sengat mentari yang memerihkan kulit.
“Usanga Bittoeng Ra’daq Dimenggittinna Allo, iKandiq Palakaq Mambure Pecawanna (Saya kira Bintang jatuh ditengah terik Mentari, ternyata si Gadis yang menyunggingkan senyumnya),” puji si pelantun Kalinda’daq (semacam pantun). Ini Kalinda’daq pujian atas keanggunan si penunggang cantik yang berbalut Badawara (pakaian khas wanita Mandar yang sudah haji).
“Diadziappa Berena iTotammaq Mangayi, Mala Puq-ayi Iqda Dzaiq Di Makka (Sungguh beruntung bagi orang yang tamat mengaji, bisa seperti haji padahal belum ke Mekah,” puji Pakkalinda’daq (pelantun Kalinda’daq) yang lain. Pujian ini dilontarkan sebagai hadiah atas keberhasilan mengkhatam Al-Qur’an.
Beragam Kalinda’daq serupa terus bergema silih berganti dan saling berbalas antar Pakkalinda’daq. Sementara gadis Mandar hanya duduk tersipu, mengangkat dagu berhias senyum sambil mengipas-kipaskan kipasnya yang putih berbulu halus dan lembut.
Gadis dengan pakaian adat haji khas Mandar menunggang kuda berarak mengelilingi kampung sudah menjadi tradisi di Mandar, terutama di pelosok, ketika pertama kali berhasil menamatkan bacaan Al-Qur’an. Kegiatan ini disebut Messawe Totammaq atau Pessawe Totammaq. Tapi seiring kemajuan zaman, kegiatan nyaris tidak terdengar lagi kecuali pada bulan-bulan perayaan maulid.
Melihat frekuensi kegiatan Pessawe Totammaq mulai berkurang, Pemkab. Majene melalui Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata merasa perlu turun tangan melestarikannya. Maka diselenggarakanlah Festival Saeyang Pattu’duq. Kegiatan ini merupakan program tahunan Pemkab Majene dan akan terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya setiap tahun.
“Untuk kegiatan (festival Saeyang Pattu’duq) ke depan itu kita lebih tingkatkan pelaksanaannya, kualitas dan kuantitasnya,” kata Andi Beda, Ketua Panitia Festival Saeyang Pattu’duq yang juga Kepala Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, Disporabudpar Majene.
Festival Saeyang Pattu’duq telah terselenggara sejak 4 tahun lalu. Dan perayaan kemarin, Kamis (06 Februari 2014), peserta festival hanya diikuti pelajar tingkat SD, SMP, dan SMA/sederajat. Kalangan mahasiswa dan instansi belum ada yang berpartisipasi.
Meski baru diikuti peserta hanya dari tingkat pelajar, penonton atau pengunjung tempat perayaan festival cukup ramai. Mereka tumpah-ruah ke jalan sepanjang rute arak-arakan yang dilalui Pessawe Totammaq. Pusat keramaian berada di halaman Gedung Boyang Assamalewuang karena disanalah penilaian dilakukan dan disana pula para pejabat pemerintahan Kabupaten Majene berada.
Setiap kelompok Saeyang Pattu’duq terdiri dari, Pessawe, Saeyang Pattu’q, Pesarung (orang yang mengapit kuda tari), Pakkalinda’daq, Parrawana (pemusik tradisional menggunakan rebana), dan pembawa bendera kelompok. Mereka mengelilingi rute (defile) dari Stadion Parasamya Mandar Majene dan Finish di Monumen Posasi. Sebelum menyelesaikan rute di Monumen Posasi mereka harus singgah beratraksi di Boyang Assamalewuang.
Abd. Muin, kepala SD Neg. No. 63 Deteng-Deteng, mengaku sangat mendukung perayaan festival budaya ini. Alasannya, agar kebudayaan daerah Mandar ini terangkat dan lestari dan dapat mengenalkan budaya Mandar kepada murid sejak dini sehingga terbentuk karakter siswa yang kuat dan berbudaya. Ia memotivasi muridnya untuk turut dalam festival.
“Saya berharap festival Saeyang Pattu’duq dilestarikan terus menerus, diadakan setiap tahun dengan mengikutkan semua tingkatan sekolah dan masyarakat umum serta instansi pemerintah.
Dengan demikian, salah satu aset budaya Mandar ini melestari dan mengakar di daerah sendiri,” katanya saat ditemui di arena festival.
Multiplier Effect Ekonomi
Tak hanya berdampak kepada pelestarian budaya. Penyelenggaraan festival juga memberikan berkah tersendiri kepada berbagai pihak seperti pemilik kuda tari, kelompok parrawana, pakkalinda’daq, dsb.
Sewa kuda tari bisa mencapai Rp150ribu hingga Rp250ribu dalam satu kegiatan. Seperti yang diakui putra (alm.) Jawas, Jayanuddin. Jawas adalah pemilik kuda tari yang pernah membawa Sulawesi Barat menjadi juara nasional pada pekan budaya nasional sehingga Jawas dan kudanya menginjak istana negara. Perolehan rejeki ini seperti ini berlaku pula pada kelompok Parrawana.
Festival Saeyang Pattu’duq yang diselenggarakan Pemkab Majene banyak menggunakan kuda tari, kelompok parrawana, pakkalinda’daq, sehingga harus mendatangkan mereka dari kabupaten tetangga, yakni kabupaten Polewali Mandar.
Seperti kelompok Parrawana yang digunakan SDN 57 Tamo pada festival tahun ini. SDN 57 Tamo memakai jasa Parrawana dari dusun La’mase Desa Renggeang, Kabupaten Polman. Kelompok pimpinan Saharuddin ini bernama ‘Siamasei’.
“Kami memang sering dipanggil ke Majene untuk mengiringi Saeyang Pattu’duq , dan hari ini kami mewakili SDN 57 Tamo,” kata Saharuddin yang lebih akrab di panggil Pua’ Subang ini.
Selain mereka, perputaran ekonomi juga terjadi pada kelompok pedagang. Mereka tanpa diundang turut menyukseskan festival dengan menyediakan makanan dan minuman ringan bagi penikmat festival.
Festival ini bisa dikata memberi efek pengganda (multiplier effect) sehingga perlu untuk dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan. Efek pengganda itu terlihat jelas seperti kedatangan wisatawan ke Majene menjadi meningkat dilihat dari konsentrasi massa pada arena perayaan, meningkat semangat ekonomi dari pedagang, pemilik kuda tari, Parrawana, Pakkalinda’daq, dsb.
Harapan besar geliat dunia wisata dan budaya dalam penyelenggaraan festival dapat dirasakan juga oleh pengunjung. Seperti yang diutarakan Ahmad Fauzi A. Lopa dan Andika.
“Festival ini berlangsung cukup sukses dan berhasil menyedot wisatawan, festival ini harus tetap dipertahankan dan dibuat semeriah mungkin agar dapat menyedot wisatawan lebih banyak lagi, dan harus bisa menyedot wisatawan asing,” ujar Ahmad Fauzi A. Lopa yang diamini Andika, kepada Mandar News saat menonton festival ini.
Peserta dan masyarakat Majene berharap agar festival seperti ini ke depan dibuat lebih meriah. Tentu hal ini dibutuhkan kreatifitas dan inovasi dari leading sector dan juga para stake holder. Kita tunggu saja seperti ada di hari mendatang.
Memang, perlu ada perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi ada yang harus dipertahankan yakni makna mendasar dari pelaksanaan Messawe Totamma. Kegiatan Messawe Totamma diharapkan menjadi magnit bagi generasi penerus untuk mau menyelesai
kan bacaan Al-Qu’ran. Dalam hal ini berarti mengutamakan siar Islam dari sekadar perayaan menghamburkan uang belaka. Dengan tetap mendasari siar Islam, akan melahirkan pribadi generasi penerus yang cantik luar dan dalam, seindah senyum yang ditebarkan meski dalam prahara yang menerpa.(ari/fls/ald)
kan bacaan Al-Qu’ran. Dalam hal ini berarti mengutamakan siar Islam dari sekadar perayaan menghamburkan uang belaka. Dengan tetap mendasari siar Islam, akan melahirkan pribadi generasi penerus yang cantik luar dan dalam, seindah senyum yang ditebarkan meski dalam prahara yang menerpa.(ari/fls/ald)