Majene, mandarnews.com – Pameran dan pertunjukan tradisional budaya mulai digelar di Stadion Prasamya Majene, Sulawesi Barat (Sulbar) Kamis 9 November 2017 malam. Sejumlah tradisi dan budaya Mandar ditampilkan di lokasi pameran.
- Baca juga : Pameran Berhadiah Mobil Digelar di Majene
Salah satunya adalah tradisi pettoyang roeng (mirip komidi putar yang terbuat dari kayu dan bambu). Panitia menyediakan dua pettoyang roeng, letaknya di utara Stadion.
Diantara budaya yang ditampilkan, hanya pettoyang roeng yang mendatangkan tukang khusus untuk membuatnya. Tukang itu adalah Baharuddin.
Sore tadi, Baharuddin dan keluarganya memulai mengoperasikan dua pettoyang roeng tersebut. Dimulai dengan mantra-mantra dan sesajen untuk keselamatan penggunanya.
“Meminta keselamatan kepada tuhan,” kata Baharuddin.
Konstruksinya sendiri dibuat dari bambu dan kayu yang dibentuk seperti kubus. Ukurannya 4×4 meter pada bagian luar dengan lebar 1,5 meter. Tinggi tiang penyangga 5 meter.
Agar bisa berputar, pada sisi kanan dan kiri terdapat dua orang yang bertugas untuk memutar. Namanya panggoling. Pada pottoyang roeng, terdapat empat tempat duduk. Saat digelar pada acara pernikahan, dua laki-laki dan perempuan yang duduk pada masing-masing tempat duduk itu.
Baharuddin menjelaskan, pettoyang roeng adalah tradisi turun temurun keluarganya di Tande, Kelurahan Tande, Kecamatan Banggae Timur, Kabupaten Majene.
“Pokoknya nenek tujuh lapis (turunan) ini sudah dilakukan,” ucap Baharuddin.
Setiap rumpun kelurga Baharuddin yang akan menggelar acara pernikahan, diwajibkan tuan rumah mengadakan pettoyang roeng selama tiga hari. Kedua mempelai juga wajib naik di pettoyang roeng dan diputar tiga kali. Jika tidak, maka bencana akan menimpa keluarga tersebut.
“Biasa terjadi bencana, seperti sakit, cacat, gila dan mandul. Bahkan meninggal. Contohya sepupu yang menikah tapi tidak adakan pettoyang roeng, dia sakit,” ungkapnya.
Baharuddin menyebutkan, tradisi ini tak akan pernah punah karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun keluarganya. Apalagi, mereka meyakini akan terjadi musibah jika tradisi itu tidak dilaksanakan. (Irwan Fals)