Foto bersama dengan Prof. Anhar
Mamuju, mandarnews.com – Tokoh nasional sekaligus penulis berbagai buku, seperti Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (1984), Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak (1992 dan 2004), dan “Indonesia, Demokrasi dan Masa Depan Pergumulan antara Masyarakat Warisan dengan Masyarakat Merdeka-Ciptaan (2002), Profesor Anhar Gonggong, berdialog dengan pemuda dan mahasiswa tentang sejarah kebangsaan serta mengenali kebangsaan, Kamis (20/6/2019).
Profesor asal Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan yang juga lulusan doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1990 ini juga memberikan beberapa ilmu kepada para generasi muda di Mamuju.
Dalam dialog tersebut, profesor yang lahir pada 1943 tersebut memberikan beberapa pengetahuan sejarah kemerdekaan Indonesia, dimulai dari bangkitnya kesatuan untuk melawan penindasan penjajahan serta lahirnya tokoh-tokoh intelektual yang tercerahkan.
Tercerahkan dalam maksud Prof. Anhar adalah mereka yang mengorbankan seluruh kemampuannya demi terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Indonesia pada waktu itu, terdiri dari lebih 330 kerajaan, baik yang kecil hingga yang paling besar, termasuk beberapa kerajaan di Sulsel dan Sulbar,” ujar Prof. Anhar.
Dari kerajaan itu, lanjutnya, kemudian mereka bersedia untuk menghilangkan ego dan bersatu dalam peribahasa dahulu, yakni bersatu kita kuat, berpisah kita hancur lebur.
“Nah, inilah yang saya maksud bahwa keeksisan mereka sebagai raja maupun keturunan dikorbankan demi berdirinya negara untuk semua golongan,” kata Prof. Anhar.
Ia menjelaskan, selalu hanya ada dua kekuatan utama dalam negara, yaitu kelompok Nasionalis Islami dan Kelompok Nasionalis Sekuler.
“Kedua kekuatan utama ini dalam batas tertentu memang bersaing, tetapi dalam bentuk yang lain selalu bisa menyelesaikan persoalan dengan cara menemukan solusi,” sebut Prof. Anhar.
Faktanya adalah, tambahnya, sepanjang perjalanan sejarah kita dari pergerakan nasional, itu bisa dilihat dari ada Budi Utomo yang sekuler, lalu ada Sarekat Islam, kemudian ada Muhammadiyah, PSI, PNI-nya Soekarno, ada PNI-nya Hatta, dan seterusnya.
“Perlu dipahami bahwa sekuler juga tentu jangan diartikan tidak beragama. Hatta itu Islam, Soekarno itu Islam sekuler. Namun, mereka ini tidak mau negara yang kita ciptakan ini nanti diatur berdasarkan ajaran agama tertentu, tetapi tidak menolak Islam karena mereka beragama Islam, hanya dalam mengatur negara jangan pakai ajaran agama karena persoalannya akan mempersulit kita, ide dasarnya seperti itu,” ucap Prof. Anhar.
Lebih jauh Prof. Anhar menjabarkan, kondisi perpolitikan saat ini yang merupakan sebuah siklus histori atas dua kekuatan utama tersebut, dimana dirinya menyebut bahwa dalam perjalanannya kemudian, kenyataan ini selalu menjadi sebuah kenyataan yang tidak pernah habis.
“Kita bisa melihat dalam konteks pemilu sekarang, dimana keduanya akan selalu menggabungkan antara Nasionalis Islami dan Nasional Sekuler, seperti di pihak Jokowi harus milih Kyai Ma’ruf Amin, dan kubu Prabowo juga mengatakan bahwa Sandi itu juga santri, karena mereka tidak mau kalau mereka merasa dirinya tidak akan terpilih tanpa menggunakan gabungan antara kekuatan Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, dan itu sudah ada sejak dulu,” ucap Prof. Anhar.
Baginya, dalam pergerakan nasional, dua kekuatan ini selalu berimbang dan mendapatkan ruangnya sendiri.
“Hal itu bisa dilihat dari sebuah fakta sejarah dimana saat Soekarno merumuskan Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, setelah selesai mengucapkan pidatonya maka anggota BPUPKI langsung terbagi dua, yaitu yang mendukung sepenuhnya Soekarno dengan Pancasilanya dengan kekuatan Nasionalis Islami yang tidak menolak pancasila tetapi menginginkan perubahan,” tutur sejarawan berambut gondrong ini.
Prof. Anhar menceritakan, karena terjadi perdebatan terus menerus, Dr Radjiman selaku Ketua BPUPKI saat itu akhirnya mengambil inisiatif untuk membentuk panitia sembilan orang dengan Soekarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakilnya, dan anggotanya ditambah tujuh orang, di antaranya Mr. Achmad Soebarjo, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Wachid Hasyim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Mr. Alexander Andries Maramis.
“Dalam perjalanannya kemudian, dari tanggal 1-22 Juni 1945 mereka memperdebatkan antara Nasional Islami atau Nasional Sekuler yang akhirnya melahirkan Piagam Jakarta,” tukas Prof. Anhar.
Piagam Jakarta itu, tambahnya, jangan dipahami seakan-akan itu miliknya Islam, tetapi itu merupakan rumusan bersama atau merupakan hasil dari kekuatan Nasionalis Islami dan kekuatan Nasionalis Sekuler.
“Setelah merdeka, rencananya 18 Agustus 1945 pagi ada rapat PPKI untuk menentukan pembentukan negara sekaligus undang-undang dasarnya, dan Pancasila akan diletakkan dalam pembukaan UUD,” beber Prof. Anhar.
Ia menerangkan, sejumlah perwakilan yang mengatasnamakan Kristen Protestan dan Kristen Katolik dari Indonesia Timur ingin bertemu dengan Hatta sebagai Wakil Ketua PPKI pada 17 Agustus sore.
“Wakil Kristen dari Indonesia Timur ini beranggapan, kalau tujuh kata dalam sila pertama Pancasila itu menjadi pembukaan UUD, maka itu terjadi diskriminasi terhadap non Islam,” ungkap Prof. Anhar.
Akhirnya, papar Prof. Anhar, Hatta menyampaikan, sebelum sidang PPKI, dirinya akan mengajak pemimpin Islam untuk membicarakan persoalan tersebut.
“Hatta lalu membahas hal itu dan sepakat untuk menghilangkan dari tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, yaitu ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya menjadi ‘Ketuhanan Maha Esa,'” imbuh Prof. Anhar.
Jadi, ujarnya, Piagam Jakarta itu adalah rumusan bersama, sehingga penghilangan tujuh kata itu bukanlah suatu kebodohan umat Islam tetapi itu adalah karena para pemimpin Islam memikirkan masa depan bangsa ini. (Sugiarto)
Editor: Ilma Amelia