Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag, Mastuki. Sumber foto: kemenag.go.id
Jakarta, mandarnews.com – Ramadan adalah momentum untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Apalagi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki perbedaan. Baik dalam hal agama, budaya, bahasa, maupun adat istiadat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas), Data dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki di Jakarta, Senin (6/5/2019).
“Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, baik agama, budaya, adat istiadat, etnik, maupun bahasa dan paham keagamaan, Ramadan menjadi momentum untuk meneguhkan persatuan dan memperkuat toleransi di antara sesama,” ujar Mastuki.
Mastuki pun menyeru kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan bulan suci Ramadan sebagai bulan muhasabah, untuk menginstrospeksi diri masing-masing.
“Lebih-lebih, pasca Pilpres/Pileg di mana elemen-elemen bangsa terpolarisasi akibat kompetisi. Kini saatnya menenggang rasa dan bersatu kembali, merajut kemajemukan untuk memajukan bangsa,” ajak Mastuki.
Di bulan Ramadan ini pula menurut Mastuki, menjadi momentum untuk mempersatukan toleransi serta sikap tenggang rasa antar umat beragama.
“Bagi yang berpuasa perlu menenggang rasa orang yang tak berpuasa. Bagi muslim ada banyak orang yang tak berpuasa karena kondisi yang mengharuskan ia boleh tak berpuasa,” ujarnya.
Misalnya, lanjutnya, pekerja kasar, ibu hamil dan mennyusui, musafir, dan lain-lain. Di Indonesia juga banyak masyarakat non muslim yang juga tak dikenakan kewajiban berpuasa.
Sebaliknya, Mastuki juga mengimbau bagi pihak yang tidak berpuasa untuk wajib menghormati dan menenggang rasa bagi mereka yang berpuasa.
Sebagai contoh, warung atau restoran yang biasanya buka siang hari, hendaklah menghormati umat muslim yang berpuasa. Caranya tentu punya wisdom masing-masing. Itulah makna tapa selira bagi Mastuki. (rilis Kemenag)
Editor : Ilma Amelia