Penulis : Hendra Wahid.
Hendra Wahid mengusulkan sebuah reformasi penting dalam pendidikan tinggi Indonesia, sertifikasi kompetensi tidak lagi diserahkan sepenuhnya pada lembaga eksternal tetapi harus menjadi bagian integral kurikulum perguruan tinggi.
Gagasan ini muncul dari fakta bahwa banyak lulusan perguruan tinggi meskipun memiliki ijazah ternyata belum siap secara praktis menghadapi tuntutan industri karena pendidikan tinggi masih terlalu menekankan teori dan gelar akademik bukan kompetensi nyata yang dibutuhkan dunia kerja.
Ada beberapa hal yang menjadi pandangan sehingga ini perlu didorong. Pertama, adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di kampus dan standar kompetensi profesi aktual. Banyak universitas masih mengutamakan materi akademis dan riset, sementara lulusan vokasi pun sering kekurangan jaminan kompetensi praktis yang bisa diuji dan diakui secara formal. Kedua, dunia kerja semakin menuntut bukti konkret kemampuan, sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) berlisensi BNSP menjadi tolok ukur valid bahwa seseorang benar-benar kompeten. Dengan memasukkan sertifikasi ke dalam kurikulum, kampus bisa menghasilkan lulusan yang tak hanya berijazah tetapi juga memiliki sertifikat kompetensi yang relevan.
Dampak buruk jika reformasi ini tidak dilakukan sangat nyata. Tanpa integrasi sertifikasi, lulusan perguruan tinggi mungkin mengalami “over edukasi tanpa kompetensi”. gelar tinggi, tetapi daya saing rendah. Industri yang mencari tenaga kerja kompeten bisa jadi enggan merekrut lulusan yang hanya punya teori tanpa bukti uji kompetensi. Hal ini bisa memperburuk pengangguran terdidik dan menurunkan kepercayaan dunia kerja terhadap lulusan universitas. Selain itu, jika sertifikasi tetap dilakukan terpisah dari kampus, biaya bisa berlipat bagi mahasiswa, mereka harus kuliah, lalu mencari tes kompetensi di luar yang bisa menambah beban finansial dan
Landasan hukumnya jelas Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) secara resmi diatur melalui “Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2018” , yang memberi kewenangan BNSP untuk memberikan lisensi LSP dan mengatur sertifikasi kompetensi kerja. ([BNSP][1]) Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 18) menekankan pentingnya pengakuan kompetensi melalui sertifikasi. ([BNSP][2]) Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), tertuang dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012, juga menghubungkan capaian pembelajaran pendidikan dengan sertifikasi kompetensi sebagai bentuk pengakuan kompetensi seseorang. ([BNSP Sertifikat][3]) Lebih lanjut, tugas dan fungsi LSP sebagai penyelenggara uji kompetensi diatur jelas, dan TUK (Tempat Uji Kompetensi) dapat berupa lembaga pendidikan, termasuk kampus.
Dengan demikian, dorongan ini untuk menjadikan sertifikasi kompetensi sebagai domain perguruan tinggi bukan hanya wacana idealis melainkan landasan strategis berdasarkan regulasi yang sudah ada. Reformasi ini akan menciptakan simbiosis antara pendidikan akademik dan kebutuhan nyata profesi, meningkatkan daya saing lulusan, dan memperkuat legitimasi kompetensi di mata industri. Jika diadopsi, kampus tidak hanya memproduksi sarjana tetapi juga profesional siap pakai sebuah langkah maju dalam mencetak SDM unggul yang relevan dengan kebutuhan masa depan. (*)
