
Oleh: Erwin (Jaringan Oposisi Loyal)
Di tengah riuhnya semarak kemerdekaan, nama itu tak pernah terdengar.
Rehan.
Bocah sembilan tahun yang setiap malam berkeliling membawa sebungkus tisu seharga Rp10 ribu.
Sementara di alun-alun Polewali Mandar, suara toa panitia menggema, “Ayo, peserta panjat pinang bersiap! Merdeka!”
Di pojok jalan yang lebih gelap, suara lirih Rehan nyaris tenggelam, “Om… beli tisu…”
Di satu sisi, jalanan dipenuhi warna merah putih. Gapura dicat ulang, lomba balap karung memancing gelak tawa, anak-anak bersorak saat bendera start dikibarkan.
Di sisi lain, Rehan tersenyum getir ketika ditolak untuk kesekian kali. Senyumnya bukan tanda bahagia, melainkan topeng yang dipaksakan.
Ia sudah terbiasa menerima gelengan kepala, tangan yang menepis halus, atau tatapan mata yang pura-pura tak melihat.
Kemeriahan kemerdekaan itu hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri, tapi seolah dunia itu bukan miliknya.
Bukankah delapan puluh tahun lalu, proklamasi dikumandangkan agar bangsa ini merdeka dari penderitaan?
Bukankah kata merdeka itu berarti bebas dari lapar, dari kerja paksa, dari masa depan yang terampas?
Namun, di tengah gegap gempita perayaan, Rehan justru menjual masa kecilnya seharga Rp10 ribu per bungkus tisu. Tisu putih yang ia tawarkan seolah menjadi simbol ironis.
Di panggung lomba 17 Agustus, tisu dipakai mengusap peluh setelah tertawa bahagia.
Di tangan Rehan, tisu menjadi pembasuh luka-luka kemiskinan, luka pengabaian, luka sebab negara yang tak pernah hadir.
Orang-orang bergembira saat bendera Merah Putih berkibar, menyanyikan Indonesia Raya dengan dada bergetar.
Tapi, suara Rehan tenggelam di keramaian, “Om… beli tisu…”
Barangkali, bagi sebagian orang, perayaan 17 Agustus adalah pesta penuh warna.
Tapi, bagi Rehan, malam kemerdekaan hanyalah jalan panjang yang harus ia tapaki dengan senyum paksa, berharap ada satu orang yang mau menukar selembar uang kecil dengan sebungkus tisu.
Maka, pertanyaan itu pun menggema, menembus riuh kembang api, musik dangdut, dan lomba panjat pinang: Apakah arti kemerdekaan, bila anak-anak masih harus menjual masa kecilnya di jalanan?
Apakah arti proklamasi, bila di tengah riuhnya semarak kemerdekaan, ada bocah yang masih menukar tawa dengan Rp10 ribu?