Jakarta, mandarnews.com – Sehat menurut definisi World Health Organization (WHO) adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental (psikis), dan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas atau karena tidak adanya penyakit atau kecacatan.
Melihat defenisi itu, Dr. CSP Wekadigunawan, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada Workshop Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Danone Indonesia menjelaskan, sehat dapat diartikan kesejahteraan yang paripurna dan ideal.
IAKMI sendiri merupakan organisasi profesi yang menaungi berbagai profesi pada kesehatan masyarakat, IAKMI juga lembaga registrasi untuk mendapatkan sertifikasi Public Health Profesional.
“Jadi menurut WHO, sehat tidak hanya sekadar bebas dari penyakit,” ungkap Dr. Weka dalam Cyber Media Forum dengan tema “Potret dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Menuju Endemi Covid-19” di Jakarta via Zoom, Rabu (21/9).
Mantan presenter berita cantik yang kini menekuni dunia ahli kedokteran itu menuturkan, istilah pandemi dan endemi dalam ilmu kesehatan familiar dengan masyarakat setelah lebih dari dua tahun Covid-19 ditetapkan WHO sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Dr . Weka menyampaikan, ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa tidak lama lagi kita akan menuju situasi endemi. Endemi merupakan sebuah situasi dimana keadaan penyakit sudah dapat diprediksi dan kasus-kasus yang terjadi tidak menimbulkan kematian atau masalah yang berarti.
“Bukan berarti kasus covid-19 tidak ada lagi, hanya saja kasusnya dalam keadaan yang dapat dikontrol, Jadi, fatality-nya di bawah keadaan yang sangat rendah,” kata Dr. Weka.
Melihat data penyebaran Covid-19 per 20 September 2022, Dr. Weka mengungkapkan, angka penyebaran Covid-19 di bawah 1% yang membuat Indonesia masuk dalam masa transisi endemi.
Berdasarkan paparannya, untuk dapat disebut endemi ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, yakni tingkat penularan kurang dari 1%, angka positif rate kurang dari 5%, tingkat perawatan di rumah sakit menurun kurang dari 5%, case fatality rate kurang dari 3%, dan penularan bersikap lokal, tidak antar daerah atau negara atau pada siaga level 1.
“Apakah kita berada di masa transisi? Kalau kita melihat data 20 September 2022, data kasus-kasusnya sudah semakin menurun, dan kasus baru pun juga menurun. Kalau berdasarkan data, maka kita saat ini dalam situasi masa transisi endemi,” sebut Dr. Weka.
Ia mencontohkan, penyakit-penyakit yang dulunya pandemi dan saat ini jadi endemi adalah malaria, poliomyelitis, sickle cell anemia, typhoid fever (tipes), schistosomiasis, meninggococcal meningitis, guinea worm, Cholera (sakit perut, diare), elephantiasis, dan measles (campak).
“Malaria itu dulu pandemi penyebaran dari nyamuk. Kalau kita melihat, malaria banyak di Papua. Kemudian ada thypoid fever atau tipes, lalu measles atau campak, dan penyakit perut yang disebut cholera bisa sampai diare, kini penyakit-penyakit ini telah endemis,” ungkap Dr. Weka.
Pasca Covid-19, di masa depan, tantangan kesehatan manusia akan memiliki beban ganda (double burden) atau bahkan triple burden. Penyakit menular baru (new emerging diseases) akan muncul, lalu penyakit menular lama (re-emerging diseases) akan kembali muncul. Ia mencontohkan, cacar monyet (monkey pox) jelang berakhirnya masa Covid-19 telah dilaporkan dialami lebih dari 70 negara, meski belum ditemukan secara masif di Indonesia.
“Beban lainnya yakni penyakit tidak menular (non-communicable diseases), contohnya penyakit jantung, ginjal, struk, ataupun kanker,” ucap Dr. Weka.
Di sisi lain, manusia tidak akan pernah benar-benar bebas dari penyakit. Menurutnya hal itu karena kita hidup di dunia yang penuh interaksi. Orang berinteraksi dengan hewan dan berinteraksi dengan lingkungan. Selain itu, perubahan fenomena iklim juga berpengaruh besar pada kesehatan.
“Kita tidak lagi meninggali bumi yang sama, salah satu contohnya yakni saat musim kemarau panjang baru-baru ini terjadi, di beberapa belahan dunia terjadi sangat mengerikan bahkan di Inggris terjadi dampak yang luar biasa. Ini sangat rentan pada kesehatan,” tutur Dr. Weka.
Tantangan kesehatan masa di depan
Di masa depan, manusia akan menghadapi tantangan kesehatan, ancaman penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan melalui hewan). Covid-19 contohnya paling hangat yang ditularkan melalui kelelawar.
Dari penjabaran Dr. Weka, nyaris 90% penyakit menular di dunia adalah zoonosis yang berasal dari hewan, penyakit paling terkenal yakni cacar, HIV-AIDS, flu burung, dan terbaru cacar monyet. Terlebih kecenderungan untuk melokalisir hewan membuat potensi penularan tinggi.
“Kalau kita ketahui, cacar yang diderita oleh manusia itu berasal dari sapi, dan Edward Jenner pertama kali membuat vaksin cacar dengan mengekstraksi pustula cacar yang berasal dari sapi,” tukas Dr. Weka..
Ia menerangkan jika penyakit zoonosis pada sifatnya yang bersel satu dapat menyesuaikan dan bertahan pada lingkungan. Ia menjabarkan beberapa penyakit endemis yang saat ini masih dialami dunia maupun di Indonesia.
Infeksi dengue (nyamuk), Infeksi yang dulu dikenal dengan nama demam berdarah. Saat ini para ahli lebih sepakat menamakannya infeksi dengue, hal itu karena gejala dari infeksi dengue tidak hanya pada demam berdarah tinggi, tetapi demam tinggi lainnya hingga 38 derajat celcius perlu diwaspadai.
“Tahun 2020 hingga 2021, di saat kita fokus pada Covid-19, infeksi nyamuk meningkat dan case fatality-nya lebih tinggi dari Covid-19,” tukas Dr. Weka.
Malaria di Indonesia masih jadi sorotan WHO. Di Papua dan Papua Barat, malaria jadi endemi yang belum tertangani hingga kini. Dr. Weka menyebut semakin lama ditemukan jika plasmodium malaria mampu bermutasi pada kondisi dan jadi pintar.
“Pada dasarnya, hewan satu sel dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan untuk terus hidup, hewan yang sangat kecil itu mengurangi patogenitasnya (keganasannya) untuk bisa bertahan hidup,” beber Dr. Weka.
Filariasis (penyakit kaki gajah), penyakit awal tahun 1960-an ini kembali muncul (re-emerging), saat ini Sulawesi dideteksi mengalami penyakit dari infeksi nyamuk ini.
“Ini ditularkan melalui nyamuk yang membawa cacing filaria,” terang Dr. Weka.
Tuberculosis (TBC), lanjutnya, sejak berabad-abad manusia masih belum keluar dari penyakit infeksi paru ini. Bakteri penyebab tuberculosis ini juga mampu menyesuaikan lingkungan dan sangat perlu dijaga untuk kembali lagi resisten.
Umumnya, penderita penyakit ini cenderung mengabaikan proses berobat hingga tuntas sesuai dengan anjuran dokter.
“Hal itu dikarenakan pasien yang sudah merasa baikan malas untuk kembali ke rumah sakit untuk minum obat. Jika terjadi re-emerging akan mulai kembali dari awal dan waktu pemulihannya bisa lebih lama,” ungkap Dr. Weka.
Tantangan kesehatan masa depan yang perlu diperhatikan
Sebagai wilayah tropis, Indonesia dan negara tropis lainnya menjadi sentra penyakit dari penyebaran hewan-hewan yang kerap menginfeksi manusia, seperti siput, lalat, semua jenis nyamuk, dan kutu-kutu. Dalam periodik, Dr. Weka menyebut sedang merintis kerjasama dengan ventolomok, ahli-ahli serangga untuk melihat pergerakanmya.
“Langkah lain yang bisa yakni pendekatan one healt, yakni keterikatan antara manusia dan semua unsur. Karena manusia hidup di lingkungan, manusia ternyata hidup makin dekat dengan hewan. Banyak hewan-hewan liar terdomestikasi dan kehilangan habitatnya karena manusia banyak membangun pemukiman, membentuk komunal, itu menjadikan pendekan one healt sangat penting,” imbuh Dr. Weka.
Urban healt. Banyaknya wilayah yang jadi perkotaan dibarengi dengan pembanguan supra struktur masif, akibatnya polusi meningkat yang berisiko pada kesehatan.
Climate Change. Kita tidak lagi hidup di bumi yang sama, fenomena iklim yang terjadi bisa berbeda dengan tempat lain. Hal itu memengaruhi kesehatan dan artificial inteligent (AI).
Berkaca dari itu, Dr. Weka mengingatkan pada pemerintah untuk terus mewaspadai kemungkinan yang ada, sehingga tidak menghambat rencana jangka panjang yang telah digagas.
“Kita tau bahwa Covid-19 tentu mengganggu persiapan kita, sampai saat ini kita terus berupaya untuk eliminasi penyakit, untuk mencapai SDGs 2030. Harapan kita, tidak terjadi gangguan signifikan terhadap rencana Indonesia Emas 2045,” tutup Dr. Weka.