 
        Penulis : S.Muchtadin Al Attas. (Dosen Hukum Universitas Sulawesi Barat).
Kita menghadapi paradoks yang mengkhawatirkan: di tengah meningkatnya kebutuhan akan profesionalisme, kita justru menyaksikan keruntuhan etika di dalamnya.
Banyak profesional yang terampil secara teknis, namun buta secara moral. Ini bukan hanya masalah individu, tetapi krisis struktural yang saya sebut sebagai “rusaknya kompas moral.”
Kompas ini, yang seharusnya menuntun pada integritas, kini berputar liar. Bahkan yang paling berbahaya, banyak yang merasa nyaman dengan kondisi ini.
Jurus Selamat: “Tidak Melanggar Aturan”
Coba perhatikan pola pembelaan yang sering muncul: “Tindakan saya tidak melanggar pasal mana pun dalam kode etik, tindakan saya tidak dilarang, tindakan saya tidak masuk dalam kondisi yang diatur, dan lain sebagainya.”
Ini adalah Logika Formal yang Mematikan. Para profesional menggunakan celah atau ketiadaan larangan eksplisit dalam aturan sebagai tameng untuk membenarkan tindakan yang sejatinya tidak etis.
Mereka mengabaikan suara hati, atau yang kita sekenal sebagai sense of morality (rasa kepatutan).
Etika, dalam pandangan mereka, direduksi menjadi daftar checklist yang harus dipenuhi, bukan prinsip luhur yang harus dipegang teguh.
Akibatnya, mereka memang legal, tetapi jauh dari kata moral. Integritas hanya menjadi hiasan di kartu nama, bukan inti dari pekerjaan.
Empat Magnet Penghancur Arah (Anomali)
Mengapa kompas ini kehilangan arah? Ada empat “anomali magnetisme” yang menarik jarum moral menjauh dari Utara Sejati:
Godaan Finansial: Tekanan untuk keuntungan, fee yang besar, atau proyek bernilai tinggi mengalahkan keadilan dan kepentingan publik.
Tarikan Kekuasaan: Upaya mempertahankan atau merebut posisi, bahkan jika harus melalui jalan pintas yang tidak jujur.
Kepentingan Kelompok: Loyalitas yang salah kepada atasan, kolega, atau aliansi tertentu, mengorbankan objektivitas.
Egoisme Pribadi: Orientasi pada saya dan keuntungan saya, bukan pada klien, profesi, atau masyarakat.
Tarikan kepentingan ini menciptakan medan magnet distorsi yang begitu kuat. Kompas moral profesional pun bergetar, lalu macet, dan akhirnya menunjuk ke arah yang salah.
Bengkel Moral yang Ikut Buta Arah
Ketika krisis ini terjadi, kita berharap ada tempat untuk “memperbaiki” kompas yang rusak, yaitu Mahkamah Moral atau Dewan Etik profesi. Lembaga-lembaga ini seharusnya menjadi bengkel terpercaya yang mengembalikan jarum pada arah yang benar.
Namun, seringkali Mahkamah Moral ini pun ikut buta arah. Prosesnya lambat, keputusannya tidak transparan, dan sanksi yang diberikan terasa tumpul.
Mengapa? Karena dewan-dewan ini sering diisi oleh profesional yang juga terpengaruh anomali magnetisme yang sama. Mereka cenderung melindungi korps daripada menegakkan kebenaran.
Mahkamah moral pun berubah fungsi menjadi lembaga impunitas yang melindungi reputasi, bukan menegakkan integritas.
Jika profesional yang seharusnya beretika rusak, dan mekanisme pengawasnya juga gagal, kepada siapa lagi masyarakat harus percaya?
Jalan Pulang: Menemukan Utara Sejati
Perbaikan kompas moral tidak bisa diinstruksikan. Ia harus dipilih.
Pertama, Profesional harus Berhenti Berlindung. Hentikan logika formalistik. Mulailah bertanya: Apakah tindakan ini benar? bukan Apakah tindakan ini akan membuat saya dihukum?
Kedua, Organisasi Profesi Harus Direformasi. Ubah fokus Kode Etik dari sekadar daftar larangan menjadi penekanan pada nilai fundamental. Perkuat pendidikan etika yang berbasis studi kasus. Yang yang terpenting, rekonstruksi Mahkamah Moral agar independen dan tegas dalam menjatuhkan sanksi.
Hanya dengan menolak tarikan ego, finansial, dan kekuasaan, para profesional dapat kembali menjadi tiang penyangga moralitas masyarakat. Mari kita kembalikan jarum kompas itu menuju Utara Sejati yakni Integritas dan Pengabdian. (*)

 
                         
         
        