
Oleh: Erwin (JOL Polewali Mandar)
Bayangkan ini: seandainya Hj. Andi Depu masih hidup hari ini, perempuan yang pernah menjadi pemimpin tertinggi Balanipa tahun 1939, ia mungkin tak lagi menghunus badik atau menunggang kuda perang. Tapi, barangkali ia akan turun ke jalan, bukan untuk melawan penjajah, melainkan melawan gunungan sampah yang kini menjajah ruang-ruang hidup warga Polewali Mandar.
Dan, siapa yang pertama kali dia cari?
Tentu saja Bupati Polman, H. Samsul Mahmud. Lelaki yang oleh konstitusi diberi amanah untuk menata, membersihkan, dan melayani.
Tapi kenyataannya, seolah-olah diberi hak istimewa untuk membiarkan kota ini menjadi lautan plastik dan bau tak sedap.
Dalam khayalanku, Hj. Andi Depu tidak datang membawa amarah. Ia datang membawa surat cinta.
Tapi, jangan salah. Ini bukan surat cinta yang lembek dan meleleh. Ini surat cinta dengan nada kritis, berlapis harapan, dan tentu saja, penuh pukulan elegan.
“Samsul, cinta tak hanya soal bunga dan puisi. Cinta juga soal tumpukan sampah yang tak kau bersihkan di halaman sendiri.”
Kalimat pembuka yang cukup untuk membuat seisi kantor bupati tersedak kopi pagi.
Karena ya, cinta tak pernah sekadar kata. Cinta itu tindakan.
Dan jika kepemimpinan adalah ekspresi cinta kepada rakyat, maka pengelolaan sampah adalah bentuk paling konkret dari cinta itu.
Sayangnya, yang kita lihat hari ini justru sebaliknya.
Data Dinas Lingkungan Hidup Polewali Mandar tahun 2023 mencatat, produksi sampah rumah tangga setiap hari mencapai lebih dari 100 ton per hari, sementara kapasitas pengelolaan baru menyentuh 60%.
Artinya, ada 40 ton sampah mengendap setiap harinya. Mungkin di sungai, di sudut pasar, atau di bawah jembatan tempat petak umpet anak-anak.
Sampah yang seharusnya dikelola oleh negara, justru jadi kenangan pahit yang tumbuh liar di tengah kota.
Dan Hj. Andi Depu tahu betul, cinta yang dibiarkan begitu saja akan membusuk. Sama seperti sampah-sampah yang tak kunjung diangkut.
“Jika dulu aku bisa menentang Belanda dengan lambaian selendang dan sepucuk tekad, mengapa kini kau tak bisa melawan sampah dengan armada truk dan kemauan politik?”
Polewali Mandar bukan medan perang, betul. Tapi, hari ini rakyat Polewali Mandar berjuang tiap hari: melawan bau, melawan banjir karena tersumbat, melawan risiko kesehatan, dan yang lebih menyakitkan: melawan rasa percaya terhadap pemimpinnya sendiri.
Dan di titik inilah, suara Hj. Andi Depu jadi terasa sangat diperlukan. Ibu Agung itu tidak pernah takut bersuara. Ia tahu, keberanian bukan hanya soal angkat senjata, tapi juga tentang angkat bicara di saat banyak pemimpin memilih diam di balik pendingin ruangan.
“Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh di antara aroma busuk dan selokan mampet. Jadilah bupati yang memeluk bumi, bukan sekedar memeluk spanduk kemenangan.”
Romantis bukan? Tapi juga, menggigit. Karena seperti kata orang bijak: kritik terbaik adalah yang disampaikan dengan cinta. Dan cinta terbaik adalah yang mampu memaksa kita berubah.
H. Samsul Mahmud, Bupati yang terhormat, ini bukan sekadar opini. Ini surat cinta dari sejarah. Dari seorang pemimpin perempuan yang barangkali tak sudi melihat tanah yang ia perjuangkan dulu berubah jadi tempat pembuangan akhir.
Maukah kau mendengarkan, sebelum semuanya terlambat?