Kredit foto : Facebook.
Sejatinya sebagai makhluk sosial yang mempunyai norma dan nilai-nilai kemanusiaan, memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Terlebih lagi sebagai manusia Indonesia yang kerap akrab dengan luhurnya budaya ketimuran yang diwariskan oleh para leluhur. Setiap individu mempunyai segenap potensi untuk menjadi lebih peka terhadap sesama, karena dalam konteks komunikasi sosial, hal ini menjadi bagian penting interaksi seorang indvidu kepada masyarakat dan lingkungannya.
Sebagai sebuah bangsa, kita memiliki warisan luhur budaya nusantara yang disarikan ke dalam Pancasila, yang tergambar dengan jelas sebagai nilai kemanusiaan. Tolong-menolong terhadap sesama, tidak hanya kepada yang sesuku, seagama, sekampung pun atas persamaan organisasi sosial. Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kita memiliki ajaran agama dan Pancasila. Khususnya sebagai seorang muslim, tak kurang dari ratusan ayat dan hadits yang menyeru pada berbuat baik.
Salah satu hadits riwayat Bukhari Muslim malah menjadikan mencintai saudara sebagai penentu keberimanan: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
Kontras dengan aturan yang kita yakini, kenyataan kerap berkata lain. Mari kita lihat contoh berikut ini. Dalam dua minggu terakhir ini, melalui media sosial, terdapat seorang ibu hamil yang jadi viral. Sang ibu hamil ini dengan perut yang buncit sedang berada di atas kereta api berpegangan pada tiang. Dalam foto itu tampak sejumlah orang dewasa yang duduk di kursi sambil memainkan telepon genggamnya. Jelas terlihat, tidak ada sama sekali niatnya memberikan sedikit empati kepada sang ibu hamil tadi. Misalnya memanggil sang ibu hamil dan menyerahkan kursinya. Sama sekali tidak.
Kisah seperti ini bukanlah sesuatu yang langka di negeri tercinta yang penuh dengan nilai-nilai sosial yang luhur. Kita akrab dengan pengalaman keseharian para lelaki yang masih tampak kuat tidak mempedulikan ibu-ibu hamil, orang tua atau anak-anak yang berdesak-desakan menaiki bus. Terjadilah siapa kuat dia dapat. Tidak peduli orang tua, anak-anak, ibu hamil atau orang yang kurang upaya.
Kalau kita bepergian ke luar negeri, tampak suasana yang berbeda. Bukan hanya di benua lain seperti Australia, tetapi pula dengan tetangga kita di ASEAN: Malaysia, Singapura, Thailand. Betapa masyarakatnya masih memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi. Banyak diantara kita yang sudah pergi ke sana untuk studi banding, tapi mungkin tidak sempat memerhatikannya.
Di Australia, saya pernah diberikan kursi oleh seorang perempuan warga lokal, hanya karena saya sedang menggendong putriku yang masih kecil. Beda jauh dengan naik bus dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Karebosi Makassar. Ketiga anakku yang masih duduk di sekolah dasar, terpaksa berdiri sejauh 15 Km, sementara sebagian besar lelaki yang masih seusiaku duduk saja di kursi tidak ada sedikit pun merasa bersalah, mungkin karena dia menganggap sudah membayar sewa bus.
Apakah di luar negeri kesadaran akan kepekaan sosial yang memudar tidak terjadi? Ya, itu juga terjadi. Tetapi terdapat perbedaan yang mendasar tentang aspek apa yang berubah dan penyebab kepekaan yang memudar itu.
Joseph Rowntree Foundation (JRF) adalah salah satu organisasi sosial di Inggris yang sering melakukan penelitian terkait fenomena kemasyarakatan. Hampir 10 tahun lalu, Julia Unwin, pimpinan JRF, menyarikan hasil pengamatan mereka dengan nada kuatir: terjadi erosi terhadap nilai kemanusian di tengah masyarakat Inggris dan kecepatannya sangat berbahaya.
Apa contoh kepekaan yang menurut Julia Unwin hilang dari masyarakatnya? “Our society has lost the instinct for kindness”, masyarakat kita kehilangan kepekaannya terhadap kebaikan, keluhnya pada the Guardian, hampir sepuluh tahun lalu.
Lanjut ia bertanya: Mau tidak kita ikut sibuk mengurusi seorang anak yang sepertinya tersesat di pusat perbelanjaan? Mau tidak kita mengetuk pintu tetangga menanyakan siapa tahu mereka perlu tumpangan ke pasar? Kepekaan semacam ini menjadi tumpul karena rasa takut kita untuk mengganggu orang lain, takut untuk turut campur jauh dalam urusan orang lain. Itu analisa JRF terhadap kondisi masyarakat Inggris.
Jadi kepekaan sosial di Inggris, sebagiannya, menghilang karena rasa kuatir mengganggu ranah privasi orang lain.
Bagaimana dengan kita?
Kepada Republika, 4 Agustus 2018 lalu, Asma Nadia menceritakan laporan pandangan mata karyawannya saat kantor mereka dilalap api. Ada ratusan orang di lokasi kejadian, tetapi hampir semua, “Ya, semua sibuk dengan telepon genggam mereka…sekedar memotret kejadian lalu mengunggahnya ke media sosial.” Tentu saja, mereka berada di sana dan tidak terpikir untuk membantu, itu bukan karena mereka tidak ingin mengganggu privasi orang lain.
Jauh sebelum era sosial media, Putnam (1995) menerbitkan bukunya, best seller, Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Ia mengeluhkan semakin berkurangnya interaksi sosial yang akrab di kalangan masyarakat. Penurunan interaksi ini menyebabkan orang semakin sulit disentuh kepekaannya.
Penelitian Twenge dan Campbell (2009) memperdalam analisis Putnam dengan mengemukakan bahwa terjadi fenomena “narcissism epidemic.” di kalangan pemuda kita. Narcissm epidemic berarti semakin menyebarnya penyakit cinta pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri: “Saya saja yang hebat, saya yang harus dipuja dan dicintai, sayalah yang berhak senang”. Inilah menurut keduanya menyebabkan turunnya empati, menyebabkan turunnya kehangatan hati kepada orang lain, dan terkikisnya hubungan yang dibangun dari rasa peduli dan kasih sayang.
Narsisme semacam ini sudah diperkirakan oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari seribu tahun lalu. “Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum/ cinta terhadap diri sendiri)”. Rasa cinta pada diri menyebabkan terkikis rasa peduli pada orang lain. Rasa cinta semacam ini semakin sering tampil dengan wajah mengerikan di era media sosial saat ini: bergaya di runtuhan gempa Palu, selfie bersama jenazah, senyum-senyum dengan latar rumah kebakaran. Wallahu’alam.
Haidir Fitra Siagian
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Catatan : artikel asli berjudul “Memersoalkan Kembali Kepekaan Sosial Kita” telah pernah dimuat dalam Majalah Universum, edisi Desember 2018.