
Mamasa – Mempertahankan nilai luhur atau tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Seperti itulah tekad Warga Balla Peu’ di Desa Balla Tumuka’ dalam menjaga kebudayaannya.

Hapri Nelpan
Dingin masih menembus kulit hingga sesekali keram terasa di dalam tulang saat saya dan rekan media lainnya serta tokoh masyarakat Balla Peu’, Andarias A memulai perjalanan dengan kendaraan bermotor dari pusat Kota Mamasa ke Desa Balla Tumuka’, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa yang berjarak sekitar 12 kilometer.
Adanya kegiatan budaya masyarakat setempat yang disebut, Pa’Bassean Bubung (Syukuran Atas Selesai Proses Pembangunan Rumah Adat) membuat saya dan rekan wartawan lainnya bertekad kesana untuk memuat sebuah karya tulis tentang budaya.
Laju kendaraan yang terus dipacu sepanjang perjalanan mengingat masih ada target berita lain yang harus dikejar di Kota Mamasa membuat perjalanan sangat singkat dan tak terasa hanya membutuhkan 23 menit akhirnya tiba di tujuan.
Sambutan yang begitu hangat dari warga setempat dan sajian segelas kopi seolah mengobati rasa lelah diperjalanan hingga perbincangan ringan lewat canda-tawa semakin membangun kedekatan antara kami.
Upacara Pa’ Bassean Bubung menurut warga setempat dalam perbincangan kami sembari asyik menyeruput kopi, katanya, tidak dapat dilakukan tanpa kehadiran Tomanarang (Kepala Tukang) sebab secara turun-temurun telah menjadi kebiasaan atau budaya warga Balla Tumuka’.
Pemilik rumah adat yang saat ini malakukan Pa’Bassean Bubung, Penias Bonggalangi (61) menjelaskan, setiap proses pekerjaan rumah adat di Balla Peu’ tidak dapat dilakukan sembarang orang sebab hanya turunan Tomanarang yang kemudian “Disampa” (Dilantik) dapat memimpin ritual Pa’Bassean Bubung.
Rumah adat yang ditempati Penihas katanya, telah berdiri sekitar 1930 dan merupakan warisan dari leluhurnya yang dikenal, Rapa’ Lagi’. Lantaran beberapa material bangunan mulai lapuk maka kembali direnovasi.
Selang waktu yang tidak lama, Tomanarang yang akrab disapa Timotius datang ke kediaman tersebut, hanya sedikit melakukan perbincangan ritual adat pun dilakukan.
Dengan merapal beberapa do’a dan harapan terhadap sang pencipta dalam bentuk bahasa daerah agar rumah yang ditempati memberikan sukacita, berkat dan kesehatan maka penyembelihan hewan kurban, seekor Babi akhirnya dilakukan sebagai wujud syukur atas selesainya pekerjaan rumah adat.
Tomanarang saat diwawancarai media menjelaskan, Pa’ Bassean Bubung adalah kegiatan terakhir dalam setiap proses pekerjaan rumah adat dan setiap tahap demi tahap mulai dari pengambilan kayu, pemahatan kayu dan beberapa tahap-tahap lainnya harus melakukan penyembelihan hewan baik itu ayam hingga babi.
“Ritual Pa’Bassean Bubung adalah bagian dari rasa sujud syukur terhadap Tuhan atas selesainya pembangunan rumah yang kemudian kembali meminta berkatnya agar rumah yang ditempati memberikan kesehatan, keselamatan, kenyamanan serta rejeki,” ujar Timotius.
Budaya Masyarakat Balla Tumuka’ memang masih sangat kental, kata Kepala Desa Balla Tumuka’ D. Deppalulun. Semua rumah adalah rumah adat sebab berdasarkan kesepakatan bersama tidak ada yang dibolehkan membangun rumah jika bukan berbentuk rumah adat.
“Soal budaya memang menjadi komitmen warga Balla Tumuka’ untuk tetap dijaga dan prinsipnya, budaya itu akan terus dipertahankan bila setiap warga menyadari pentingnya nilai luhur tersebut,” ungkapnya.
Deppalulun juga menjelaskan, jumlah keluarga 348 KK, jumlah rumah 326. Rumah adat yang ada telah berumur ratusan tahun dan sudah ada sebelum Kolonial Belanda masuk.
Motif rumah, ada 7 tingkatan kata Kades Balla Tumuka’. Paling bawah Banua Salanta’, lalu Banua latok terbagi ada dua yakni Latok biasa dan Banua yang ditandiloi yang lebih diatas lagi dari Banua Latok biasa. Kemudian Banua longkarrin, Banua Lentong, Banua Bolong dan Banua Sura’.
Setiap bangunan disesuaikan dengan strata atau boleh dikatakan tingkat kehidupan masyarakat.
Kampung Balla Tumuka’ dapat dikatakan suatu pemukiman masyarakat adat dimana memiliki keseragaman rumah adat yang berderet diatas bukit dan tertata dengan rapi dan cukup jarang bahkan hanya satu-satunya tempat di Provinsi Sulawesi Barat yang masih memperhankan bentuk pemukimannya.
Kades berharap, jika ada kepedulian pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengelola sejumlah objek wisata baiknya disalurkan ke suatu titik dan difokuskan agar benar-benar menyentuh. Menurutnya, jika tidak difokuskan maka tidak akan memberikan efek besar dalam penataan suatu objek.
Desa Balla Tumuka’ selain memiliki kampung halaman yang masih seragam menggunakan rumah adat juga memiliki wisata alam seperti, Negeri Diatas Awan di Liarrak, Buntu Mussa’, Goa, dan Air Terjun yang tak kalah menarik dengan tempat lain jika dikelola dengan baik.
“Kami berniat untuk merencanakan festival budaya setiap tahunnya guna menarik wisatawan dan bagian dari cara untuk membangun semangat budaya Balla Tumuka’,” tuturnya.
Yulianus salah satu tokoh masyarakat Balla Tumuka’ juga menilai, warisan leluhur memang patut dijaga sebab hal itu adalah wujud identitas suatu wilayah sehingga akan direncanakan bersama jajaran pemerintah desa untuk melakukan penelitian terhadap budaya yang ada kemudian dibukukan agar menjadi warisan bagi generasi dimasa mendatang.(*)