Tempat singgah di tengah kebin sawit di jalan poros Mamuju – Topoyo. Foto : Dok. Mandar News
Beberapa bulan lalu, Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Provinsi Riau menghimbau agar petani sawit menanam jengkol. Tidak lama berselang, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi menyarankan lagi agar menanam durian.
Saya meluruskan pendapat para pihak yang seolah-olah mengkritik tapi tanpa mengenal situasi dan kondisi sawit Indonesia dan petani sawit secara khusus.
Pendapat Jokowi tersebut saya benarkan karena memiliki makna kritis dan sekaligus kritik terhadap tata kelola sawit selama masa reformasi. Saya melihatnya dalam beberapa bagian, yaitu:
Pertama, himbauan Presiden Jokowi tersebut untuk petani sawit yang sudah ada saat ini. Luas perkebunan rakyat 43% dari total luas kebun sawit 14,3 juta Ha. Kurang lebih 30% petani swadaya dari total luas kebun tersebut hidup dalam kesusahan seperti menjual ke tengkulak, ditambah lagi harga yang sangat rendah. Luas kebun mereka pun rata-rata kurang dari 8 Ha. Petani plasma memiliki luas kebun rata-rata 1 sampai 2 ha dengan jumlah totalnya sebanyak 13%.
Jika harga anjlok hingga kurang dari Rp1.000/kg, petani plasma akan susah payah membiayai kehidupan keluarganya, apalagi harus membiayai sekolah anak. Sedangkan petani plasma tidak lagi memiliki lahan pangan sebab sudah dialihkan ke sawit oleh petani, sehingga petani tidak memiliki income tambahan ketika mengalami krisis.
Skema Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-TRANS) pada tahun 1980-an telah mengalokasikan 0,75 Ha untuk lahan pangan, namun saat ini semua lahan sudah dialihkan ke sawit. Sementara untuk kebutuhan pangan harus dibeli, mulai dari beras, sayur dan buah.
Situasi ini sering dialami oleh petani sawit. Krisis tahun 2008 saat kolapsnya Lehman Brother, memukul Asia hingga memengaruhi komoditi ekspor sawit Indonesia. Tahun 2008 itu, harga sawit mencapai Rp80/kg. Begitupun halnya dengan perang dagang AS dan Cina yang berlangsung saat ini yang mengakibatkan harga sawit pada tahun 2018 sejak Juni hingga Desember turun drastis dari Rp1900/kg sampai menyentuh angka Rp400 rupiah/kg.
Kedua, kondisi pasar minyak sawit saat ini, dimana pasar energi biofuel Eropa tidak akan membeli minyak sawit Indonesia lagi. Ini tentunya menjadi kondisi kritis bagi industri minyak sawit Indonesia. Terlepas dari berbagai alasannya seperti deforestasi dan masalah lainnya, ini tetap memukul industri sawit.
Ketiga, selain kepada petani kelapa sawit yang sudah ada, himbauan itu juga berlaku bagi petani pangan, padi, dan karet. Kecenderungan setiap tahun ketika harga sawit mulai membaik, petani pangan, padi, dan karet sebagian kecil mengalihkan komoditasnya jadi kelapa sawit. Mereka rela karet dan sawahnya disulap jadi kebun-kebun sawit karena harganya sangat mendukung. Tapi, petani sawit dan pangan rata-rata tidak paham bahwa harga sawit itu akan membaik kalau didukung dengan kondisi-kondisi ekonomi politik dalam negeri dan negara AS, India, Cina dan Eropa sebagai negata orientasi ekspor sawit dalam iklim yang lebih baik.
Jika tidak maka kondisinya akan buruk, sebab 85% minya sawit Indonesia adalah untuk ekspor. Jadi, risiko ekonomi dan bisnisnya saling terkait antar negara. Karena itu, masukan Jokowi ini sangat positif agar petani tidak terjebak dengan harga sawit yang sedang membaik. Buktinya, beberapa petani karet, padi dan pangan tadi yang sudah hijrah ke sawit sebagian besar menyesal, karena selain hilangnya sumber kebutuhan pokok seperti beras, juga dihadapkan dengan masalah baru, seperti harga yang tidak stabil dan mereka menjual ke tengkulak dengan harga yang lebih rendah.
Keempat, masukan Jokowi itu juga punya makna kritik untuk aparatur birokrasi daerah dan provinsi yang suka memberi ijin tapi tidak memiliki peta komoditas dan analisis pasar. Risiko kedepannya ketika ijin terus dibuka, kemampuan pengawasan untuk masalah deforestasi tidak bisa dilakukan, serapan pasar terbatas disertai tantangan pertarungan dagang, semua ini akan menghantam kehidupan petani sawit.(*)