Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin
Jakarta – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin menegaskan, bahwa komitmen Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah surut. Komitmen tersebut, ujar dia, didasarkan pada tekad kuat Presiden untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang ‘menyandera’ dan menguras energi bangsa.
Ruhaini menyampaikan ini, menanggapi arahan Presiden Joko Widodo tentang penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang disampaikan dalam pidato kenegaraan di depan MPR, DPR, dan DPD RI, Selasa, (16/8).
“Dengan terselesaikannya pelanggaran berat di masa lalu bangsa Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan percaya diri, bermartabat, dan optimisme dalam mewujudkan bangsa yang tangguh, mandiri, dan kompetitif di tingkat global,” kata Ruhaini, di Jakarta, Rabu (17/8).
Ruhaini mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, atau sebelum diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan dua pendekatan. Yakni, yudisial dan non-yudisial.
Secara yudisial, lanjut Ruhaini, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat. Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada yang terjadi pada 2014. Dugaan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan.
“Atas upaya ini, Presiden mengapresiasi kesungguhan semua pihak, termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” terangnya.
Selain yudisial, pemerintah juga menggunakan pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Yakni, memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan. Hal ini, dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden.
“Kepres saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden. Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung.
“Pemerintah dan DPR saat ini juga terus melakukan pembahasan untuk percepatan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” tandasnya.
Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Yaitu, pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pasca Daerah Operasi Militer, serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mengaku telah menandatangani Keputusan Presiden (Kepres) tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal itu diungkapkan Presiden dalam pidatonya, pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI dalam rangka HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI, di gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI Senayan Jakarta.
“Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu telah saya tanda tangani,” ungkap Presiden Jokowi. (Rizaldy/KSP)