Ilustrasi : antara
Majene, mandarnews.com – Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Majene menangani tiga kasus dugaan money politics (politik uang) pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sulawesi Barat (Sulbar) yang digelar Rabu 15 Februari 2017 silam.
Sembilan orang sempat ditahan dan empat dinyatakan sebagai tersangka. Salah satunya telah ditetapkan sebagai terdakwa dan sementara menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Majene.
Agenda persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, Medi Rapi Batara Randa, hakim anggota Moh. Fauzi Salam dan Saiful, Kamis 9 Maret 2017 lalu adalah pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU),
JPU, Akbar Baharuddin menuntut terdakwa, Sahrul dengan hukuman 54 bulan atau empat tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan penjara. Sementara Sahrul juga membacakan nota pembelaannya.
Baca : Terdakwa ‘Money Politics’ Dituntut 54 Bulan Penjara
Usai sidang, Sahrul memperlihatkan salinan nota pembelannya kepada sejumlah wartawan. Menurut Sahrul dalam nota pembelaannya, tidak ada satu pun saksi yang mengatakan bahwa ia adalah tim sukses dari salah satu pasangan calon (paslon).
Bahkan, kata Sahrul, saksi Rahmat dan Amsal (penerima uang) dan Hawasiah mengatakan bahwa ia tidak mempengaruhi atau memaksa mereka untuk memilih salah satu paslon.
“Ketika saya ditangkap tidak ada data pendukung, atribut maupun gambar paslon Cagub Cawagub yang ditemukan pada saya,” kata Sahrul.
Saat ditangkap di Pao-pao, Kelurahan Lamungan Batu, Kecamatan Malunda, Sahrul membawa tas yang berisi uang senilai Rp 12 juta. Tapi menurutnya, uang tersebut adalah uang mahar anak sulungnya. Uang itu akan digunakan untuk membayar sapi milik Sudarmin yang akan dipakai pada pesta pernikahan yang berlangsung Kamis 23 Februari 2017 lalu.
Sementara uang Rp 100 ribu yang diberikan kepada Amsal adalah upah untuk menjaga rumah milik sepupunya. Tak jauh dari rumah Amsal. Uang Rp 50 ribu untuk Rahmat adalah uang untuk membayar rokok dan pulsa yang dibeli dari warung milik Rahmat.
Selama dalam sel Polres Majene, Sahrul mengaku sering menangis. Terlebih saat pernikahan anak perempuannya tidak bisa ia hadiri. Ia mengajukan permohonan tapi Polres Majene tidak memberikan izin.
“Yang paling membuat saya sedih adalah ketika saya minta izin untuk hadir mendampingi anak saya diacara pernikahannya namun saya tidak dikasi (diberi izin) walaupun saya minta untuk pengawalan dan diborgol. Saya menangis, anak pertama saya menikah tapi saya tidak bisa hadir,” kata Sahrul yang ditemui usai persidangan.
Tak hanya itu, Sahrul juga menangis ketika keluarga kecilnya membesuk di sel. Apa lagi jika istrinya datang bersama anak bungsunya yang masih balita. Sahrul mengaku, ia bersedih karena dijerat atas sesuatu yang tidak ia lakukan.
Akhir nota pembelaan Sahrul tetap tidak terima jika dirinya dianggap melakukan politik uang. Ia bermohon kepada majelis hakim untuk membebaskan dirinya karena ia memiliki lima anak yang harus dinafkahi. Dua diantaranya masih kecil.
“Kasihanilah saya karena anak-anak saya hanya berharap kepada saya sedangkan istri saya tidak memiliki pekerjaan. Sekian ucapkan terima kasih banyak kepada yang mulia hakim atas waktu yang diberikan kepada saya. Semoga kita semua tetap dalam lindungan Allah swt,” harapnya.
Sahrul kembali akan menjalani persidangan terakhir di PN Majene, Selasa 14 Maret 2017 mendatang. Agenda persidangannya adalah pembacaan vonis atas kasus politik uang tersebut. (Irwan)
Tags : Money Politics