Mamuju, mandarnews.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Barat (Sulbar) menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi pengalihan hak pada hutan lindung Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang terletak di Desa Tadui, Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Kamis (21/7).
Kepala Seksi Penegakan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sulbar Amiruddin menyebut, tiga orang tersangka itu masing-masing berinisial ADH (pemilik SPBU Desa Tadui), HN (mantan Kepala Badan Pertanahan Negara Mamuju), dan SB (mantan Kepala Desa Tadui).
“(Tersangka akan ditahan) berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat Nomor: PRINT – 497 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 498 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 499 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022 tanggal 21 Juli 2022 di Rutan Klas IIB Mamuju selama 20 hari terhitung mulai hari ini,” kata Amiruddin.
Selanjutnya, ketiga tersangka akan ditahan sejak ditetapkannya sebagai tersangka dengan pertimbangan yakni alasan objektif dimana pasal yang disangkakan adalah pasal yang ancaman hukumannya di atas lima tahun vide Pasal 21 ayat (4) huruf a, berikutnya alasan subjektif yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri dan merusak atau menghilangkan barang bukti, serta memengaruhi saksi-saksi lainnya.
“Berkas perkara tersangka telah dalam tahap penyusunan sehingga proses penanganannya akan cepat selesai,” lanjut Amiruddin.
Kronologi
Pada tahun 2016, ADH membeli lahan dalam lawasan hutan lindung yang terletak di Desa Tadui dengan maksud akan membangun usaha SPBU. Atas permintaan ADH, Kepala Desa Tadui SB untuk menerbitkan Sporadik yang statusnya dicantumkan sebagai tanah negara bebas, padahal diketahui lokasi tersbeut adalah kawasan hutan.
Berdasarkan Sporadik tersebut, ADH mengajukan permohonan penerbitan sertifikat kepada Kepala BPN Mamuju, HN.
Selanjutnya, Tim A (pemeriksa tanah) tahun 2017 yang diangkat oleh HN ditugaskan untuk memberikan rekomendasi persyaratan diterbitkannya status kepemilikan.
MN sebagai Tim A tidak melaksanakan tugasnya mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai status tanah, apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak, padahal MN mengetahui bahwa yang dapat menggugurkan permohonan untuk penerbitan sertifikat tanah adalah salah satunya merupakan kawasan hutan lindung.
Berdasarkan rekomendasi Tim A, Kepala BPN Mamuju HN menyetujui penerbitan status kepemilikan permohonan ADH tanpa berkoordinasi atau meminta informasi dari Dinas Kehutanan atau instansi berwenang lainnya dan pada tanggal 23 Maret 2017 menerbitkan SHM No. 611 seluas 10.370 M2 atas nama IP (istri ADH).
Pada tahun 2019, di atas lahan SHM No. 611 tersebut, ADH membangun SPBU. ADH mendapatkan kepastian informasi tentang kawasan hutan dari notaris, namun sampai saat ini tidak menggubris adanya pengeluaran luasan tersebut. SPBU tetap dibangun dan dikelola sampai saat ini, bahkan di atas lahan tersebut juga dibangun fasilitas penunjang seperti rumah makan dan bangunan yang kemudian disewakan sebagian lahannya untuk minimarket Indomaret.
“Atas kasus ini, Kejati Sulbar menemukan kerugian negara senilai Rp2.817.137.263 (dua miliar delapan ratus tujuh belas juta seratus tiga puluh tujuh ribu dua ratus enam puluh tiga rupiah), serta ADH mengambil keuntungan yaitu berupa penguasaan lahan kawasan hutan, harga sewa bangunan gedung untuk Indomaret, dan usaha rumah makan yang dibangun di atas lahan tersebut,” terang Amiruddin.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Note: Sebelumnya kami memohon maaf atas kesalahan redaksi yang berjudul “Kejati Sulbar Tetapkan Empat Orang Tersangka Kasus Pengalihan Hutan Lindung SPBU Tadui”. Berita tersebut telah dikoreksi dan disesuaikan dengan update rilis press Kejati Sulbar.