Ilustrasi simpul tali. (Sumber foto: AI)
Polewali Mandar, mandarnews.com – Berdasarkan penelusuran berita, sepanjang tahun 2025, tujuh warga Polewali Mandar memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Dimulai pada Januari 2025, seorang pemuda warga Kecamatan Mapilli bunuh diri di sebuah tempat kos di Mamuju, diduga akibat persoalan asmara.
Pada bulan September 2025, seorang pemuda warga Kecamatan Bulo nekat menenggak racun dan mengiris tubuhnya sendiri, tapi nyawanya masih bisa diselamatkan. Di bulan yang sama, seorang pria warga Kecamatan Binuang juga gantung diri di rumah kosong.
Tiga peristiwa bunuh diri terjadi pada bulan November 2025, yaitu seorang gadis di Kecamatan Binuang yang gantung diri di dalam rumahnya, seorang ibu penjual kue yang menjerat dirinya sendiri di Kecamatan Matakali, dan seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Anreapi yang meminum racun rumput.
Pada bulan Desember 2025, dua kejadian bunuh diri menghebohkan masyarakat. Pria warga Kecamatan Polewali ditemukan oleh istrinya sendiri dalam keadaan tergantung di dapur rumahnya, disusul oleh penemuan mayat seorang petani warga Kecamatan Bulo yang diduga bunuh diri di kebunnya.
Rentetan peristiwa bunuh diri ini tentu saja menimbulkan rasa prihatin. Lalu, apa yang memicu orang-orang tersebut mengambil langkah ekstrem berupa pengakhiran hidup sendiri?
“Secara umum, faktor yang menyebabkan terjadinya bunuh diri di Polewali Mandar ini karena tekanan atau beban psikologis,” ujar Direktur Woman Child Crisis Center Sulawesi Barat, Mimit Parkasi, saat dikonfirmasi lewat WhatsApp, Kamis (25/12/2025).
Mimit menyampaikan, kondisi psikologis pelaku bunuh diri itu sangat kompleks, ada yang depresi, gangguan kecemasan, bahkan merasa terisolasi.
“Ada beberapa faktor yang membuat keinginan bunuh diri itu terjadi, yaitu tidak adanya booster atau stimulus eksternal, tidak adanya penyelesaian terhadap sumber stres, dan tidak adanya mekanisme perlindungan diri,” kata Mimit yang juga seorang psikolog ini.
Pikiran untuk bunuh diri, tambah Mimit, seringkali terkait dengan penyakit mental, seperti depresi, gangguan bipolar, dan gangguan kecemasan. Namun, tidak semua orang yang memiliki penyakit mental akan memiliki pikiran untuk bunuh diri.
“Beberapa penelitian mengatakan, 90% orang yang melakukan bunuh diri memiliki penyakit mental, seperti depresi atau gangguan kecemasan. Tapi, penyakit mental bukan satu-satunya faktor pikiran untuk bunuh diri. Masalah hubungan, keuangan, dan ketergantungan zat juga dapat berperan dalam meningkatkan risiko bunuh diri,” sebut Mimit.
Psikolog Reski Ayu Noviana menjelaskan bahwa pemicu bunuh diri bisa bermacam-macam. Umumnya karena sebelumnya terpapar dengan kebiasaan menyakiti diri sendiri.
“Ketika self-harm dirasa sudah tidak lagi bisa menjadi tempat pelampiasan yang nyaman, biasanya muncul pemikiran bunuh diri dulu, kemudian menjadi perilaku bunuh diri. Jadi, tidak serta merta langsung mereka mau bunuh diri, proses ke perilaku bunuh diri biasanya didahului dengan perilaku self-harm ,” tukas Reski Ayu melalui WhatsApp.
Reski Ayu mengungkapkan, pikiran untuk bunuh diri dapat dihilangkan dengan catatan pendampingan oleh profesional, psikolog maupun psikiater.
“Untuk bentuk intervensi yang diberikan disesuaikan dengan gangguan atau akar permasalahan yang sedang dialami. Umumnya intervensi yang digunakan adalah CBT yang menyasar pola pikir yang terdistorsi dan biasanya efektif pada kategori berpikir bunuh diri ringan-sedang,” tutur Reski Ayu.
Sedangkan untuk kondisi berpikir bunuh diri/menyakiti diri sendiri kronis biasanya digunakan DBT dimana fokus intervensi tersebut pada emosi yang dirasakan oleh individu.
Psikolog klinis, Sri Wahyuni, menyarankan kepada orang terdekat individu yang memiliki pikiran bunuh diri untuk mendengarkan tanpa menghakimi, menunjukkan kepedulian, jangan meremehkan perasaannya, mengajak mencari bantuan profesional, dan memastikan individu tersebut tidak sendirian.
“Agar pikiran bunuh diri tidak muncul lagi, yang bisa dilakukan adalah menjaga kesehatan mental secara rutin, lanjutkan terapi bila perlu, punya support system , kelola stres dengan baik, dan segera cari bantuan jika tanda-tanda muncul lagi,” ucap Sri Wahyuni melalui aplikasi pesan.
Sri Wahyuni mengemukakan, tidak semua orang yang mempunyai pikiran untuk bunuh diri akan melakukannya, sebagian besar justru tidak sampai bertindak.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang yang pernah memiliki pikiran tersebut pada masa stres berat, namun hanya sekitar 20–30% yang pernah mencoba, dan jumlah yang benar-benar meninggal karena bunuh diri jauh lebih kecil, diperkirakan di bawah 5% dari mereka yang pernah bertahan.
“Hal ini menunjukkan bahwa pikiran bunuh diri bisa bersifat sementara dan sangat dapat dicegah dengan dukungan, penanganan yang tepat, serta bantuan profesional,” tutup Sri Wahyuni. (ilm)
