Beberapa orang memasang pagar kawat berduri di lahan yang sedang dibangun untuk perumahan di Polewali Mandar.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Sebidang lahan di Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, yang tengah melaksanakan pembangunan perumahan dipagari menggunakan kawat berduri oleh warga sekitar.
Alasannya, warga yang sebelumnya menggarap lahan tersebut belum menerima uang ganti rugi atas tanaman mereka dari pengembang perumahan.
Salah satu penggarap yang mengaku mengerjakan lahan sejak tahun 2020, Saidah, menegaskan jika dirinya akan sukarela keluar dari tanah itu jika ganti ruginya sudah dibayarkan.
“Pembicaraan awal saya minta Rp100 juta, tapi pengembang hanya mau bayar Rp3 juta. Tidak seimbang,” sebut Saidah kepada awak media di lokasi, Rabu (26/11/2025).
Saidah merasa dirugikan sebab lahan yang telah ditanami oleh kurang lebih dua ribu pohon pisang, sayur-sayuran, dan ubi, diratakan begitu saja oleh buldozer tanpa pemberitahuan sebelumnya untuk digunakan membangun perumahan.
“Ada satu juga gardu untuk menjual sama isinya yang dibongkar,” ucap Saidah.
Ia mengaku tidak tahu menahu tentang masalah tanah karena sudah ada empat orang yang mengaku sebagai pemilik lahan, salah satunya Hj. Halijah yang bahkan sampai datang ke rumah Saidah dan berpesan agar jangan meninggalkan tanah itu.
“Tanamanku sudah mau berhasil, kenapa tidak dari awal dilarang menanam?” tutur Saidah.
Dirinya pun meminta untuk menghentikan pembangunan sebelum ganti rugi dibayarkan.
Penggarap lainnya, Hamma Ati, menyampaikan jika tanaman yang dipunyainya di lahan tersebut adalah 100 pohon kakao, 50 pohon pisang, dan 50 pohon buah naga.
“Buldozer masuk sama 50 preman tanpa beritahu saya,” tukas Hamma Ati.
Dirinya menyebutkan sudah lama menggarap lahan sejak sebelum developer datang, bahkan ia memiliki surat kuasa dari Andi Samsul, yang juga diberi kuasa oleh pemilik lahan, untuk menggarap tanah itu.
“Setelah itu saya melapor ke Polres tapi tidak diterima karena tidak ada sertifikat, saya kan penggarap ji, jadi saya langsung ke Mamuju,” ungkap Hamma Ati.
Sebagai ganti rugi atas tanamannya yang diratakan begitu saja, Hamma Ati menuntut dibayar sebesar Rp300 juta. Jika hal tersebut disanggupi, dia akan keluar dari lahan itu.
“Saya masuk di sini tidak menyerobot, tapi disuruh sama yang punya tanah,” imbuh Hamma Ati.
Merespons pemagaran yang dilakukan warga, kuasa hukum pengembang perumahan, PT Karya Baru Tinumbu dan PT Ersy Bintang Gemilang, Sukriwandi, menerangkan jika hal tersebut adalah pelanggaran hukum karena memagar yang bukan haknya.
Sukriwandi mengemukakan, pihak perusahaan pada awalnya bersedia membayar ganti rugi, bahkan sudah mengirimkan somasi kepada pihak penggarap sebelum buldozer meratakan lahan yang dimaksud.
“Mulanya, ada enam penggarap yang mengerjakan lahan, empat orang telah menerima ganti rugi, sisa dua orang yang belum,” ujar Sukriwandi.
Pengembang, tambah Sukriwandi, bersedia membayar ganti rugi dengan syarat tidak seperti pemerasan.
“Kami menghitung ada 70 pohon pisang dan 50 pohon kakao dengan harga per pohon Rp15 ribu tapi kedua penggarap malah meminta masing-masing Rp100 juta dan Rp300 juta,” kata Sukriwandi.
Ia menguraikan, walaupun pengembang sudah dilaporkan ke kepolisian oleh salah satu penggarap, tapi termentahkan karena mampu memperlihatkan dokumen resmi.
Sedangkan soal pemagaran lahan, Sukriwandi masih belum bisa memastikan apakah pihak pengembang akan menempuh jalur hukum atau tidak. (ilm)
