
Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Sulawesi Barat bersama Pemerintah Desa Napo resmi meluncurkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT), Selasa (30/9/2025).
Majene, mandarnews.com – Dalam upaya memperkuat tata kelola administrasi pertanahan di tingkat desa, Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Sulawesi Barat bersama Pemerintah Desa Napo resmi meluncurkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT), Selasa (30/9/25).
Program ini merupakan bagian dari pengabdian kemitraan yang bertujuan untuk mencegah konflik agraria dan meningkatkan kepastian hukum bagi masyarakat.
Mengapa SOP Pertanahan diperlukan ?
Penerbitan dokumen pertanahan di desa selama ini kerap menghadapi kendala administratif, ketidakteraturan prosedur, dan minimnya pemahaman hukum.
Di Desa Napo, yang memiliki sejarah sebagai bagian dari tanah adat Appe Banua Kaiyyang, potensi klaim dan konflik kepemilikan sangat tinggi.
Data dari Pengadilan Negeri Polewali menunjukkan bahwa sejak 2021 hingga pertengahan 2025, terdapat 126 perkara pertanahan yang berujung di meja hijau.
SOP menjadi instrumen penting untuk menstandarkan alur pelayanan administrasi pertanahan. Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penerbitan dokumen.
Menyelaraskan sistem desa dengan kebijakan nasional seperti PTSL dan pendaftaran sporadik oleh BPN.
Manfaat SKT dan SPPFBT dalam Pencegahan Sengketa.
Manfaat utama dari Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT) dalam pencegahan sengketa pertanahan terletak pada fungsinya sebagai bukti awal legalitas dan verifikasi administratif atas penguasaan tanah yang belum bersertifikat.
Kedua dokumen ini menjadi instrumen penting dalam membangun kepastian hukum di tingkat desa, terutama di wilayah seperti Desa Napo yang memiliki sejarah tanah adat dan kompleksitas klaim warisan.
SKT menerangkan bahwa seseorang telah menguasai tanah secara nyata dan berkelanjutan, sedangkan SPPFBT menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan telah dikuasai secara sah. Dengan adanya dokumen ini, masyarakat memiliki pegangan hukum yang dapat digunakan dalam proses pendaftaran tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), sekaligus sebagai alat pembuktian awal jika terjadi konflik.
Secara teoritis, dokumen ini juga berfungsi sebagai mekanisme preventif dalam teori konflik sosial (Lewis Coser), di mana konflik dapat dicegah jika sistem dokumentasi dan klaim kepemilikan berjalan secara transparan dan terstandarisasi.
Dalam praktiknya, SKT dan SPPFBT membantu menyelaraskan klaim masyarakat dengan sistem hukum formal, mengurangi ruang abu-abu yang sering menjadi pemicu sengketa.
Di Desa Napo, penerapan SOP dalam penerbitan dokumen ini telah menjadi langkah strategis untuk menata administrasi pertanahan, memperkuat posisi hukum warga, dan mendorong sinergi antara pemerintah desa dan lembaga pertanahan dalam mendukung reforma agraria yang berkeadilan.
Sinergi Akademik dan Pemerintah Desa.
Kegiatan ini melibatkan koordinasi intensif dengan Pemerintah Desa Napo, konsultasi dengan BPN Polewali Mandar, serta sosialisasi kepada masyarakat melalui Legal Coaching Clinic (LCC). Tim PKM juga menyusun dokumen pedoman teknis sebagai tambahan luaran untuk memperkuat pemahaman perangkat desa.
Ketua Tim PKM, S. Muchtadin Al Attas, S.H., M.H., menyampaikan bahwa SOP ini bukan sekadar dokumen administratif, tetapi wujud komitmen bersama untuk membangun sistem pertanahan desa yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Legal Coaching Clinic sebagai rangkaian Kegiatan PKM.
Sebagai bagian integral dari rangkaian kegiatan pengabdian kemitraan di Desa Napo, Tim PKM Universitas Sulawesi Barat menyelenggarakan Legal Coaching Clinic (LCC) Hukum Pertanahan yang dirangkaikan langsung dengan sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT).
Kegiatan ini dilaksanakan pada 30 September 2025 di Kantor Desa Napo dan dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat, serta tokoh adat setempat.
Tujuan utama dari LCC ini adalah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan aparatur desa terhadap aspek hukum dan administrasi pertanahan, khususnya dalam konteks penerbitan dokumen legal yang menjadi dasar pengakuan atas penguasaan tanah.
Dalam sesi LCC, Tim PKM menghadirkan pakar hukum pertanahan, Ardiansyah, S.H., M.H., yang memaparkan materi bertajuk “Membedah Hukum Pertanahan : Menakar Kepastian, Mengurai Konflik, Menata Keadilan di Desa Napo.”
Materi ini membahas potensi konflik yang sering muncul akibat lemahnya dokumentasi dan minimnya pemahaman terhadap regulasi pertanahan.
Melalui pendekatan edukatif dan konsultatif, peserta diajak untuk memahami pentingnya legalitas dokumen, alur administratif yang benar, serta hak dan kewajiban dalam penguasaan tanah. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat kapasitas hukum masyarakat, tetapi juga menjadi ruang dialog antara pemerintah desa dan warga untuk menyelaraskan praktik lokal dengan sistem hukum nasional, sehingga SOP yang disusun dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan.
Harapan.
Dengan adanya SOP penerbitan SKT dan SPPFBT, Desa Napo diharapkan menjadi model praktik baik dalam tata kelola pertanahan di tingkat desa, karena mampu memperkuat posisi masyarakat dalam mengklaim hak atas tanah secara sah dan mencegah konflik berkepanjangan.
Hal ini sejalan dengan semangat reforma agraria yang tidak hanya berfokus pada redistribusi tanah, tetapi juga pada penataan sistem administrasi yang menjamin hak-hak masyarakat secara adil dan transparan.
SOP dan SPPFBT menjadi instrumen penting dalam membangun kepastian hukum, karena ketika desa mampu menata dokumen, menertibkan prosedur, dan memperkuat kapasitas aparaturnya, maka potensi sengketa dapat diminimalisir, keadilan dapat ditegakkan, dan pembangunan desa dapat berlangsung secara berkelanjutan tanpa hambatan hukum. Desa Napo telah memulai langkah itu. Semoga desa-desa lain segera menyusul. (Ptr/rls)