
Rumah Ukir milik Haji Jamaluddin
Polewali mandar – Di sebuah kampung kecil bernama Rea Timur, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berdirilah sebuah rumah ukiran kayu ulin yang dulunya menjadi lambang keberhasilan, cinta, dan ketekunan. Rumah itu kini tinggal separuhโsecara harfiah. Sebab separuh lainnya telah digergaji. Bukan oleh bencana, tapi oleh palu hukum dan mesin senso.
Adalah Haji Jamaluddin, lelaki tua asal Petobong, Pinrang, Sulsel yang kini tinggal sebatang kara di separuh rumah tersebut. Dulu ia membangun rumah itu bersama istrinya, Sitti Ani, dari hasil jerih payahnya bertambak udang selama lebih dari tiga dekade di Tarakan, Kalimantan Utara. Mereka tak memiliki anak kandung, namun hidup penuh kasih.
Setelah pulang kampung karena usia dan sakit yang mulai menggerogoti tubuh sang istri, mereka membangun rumah impian dari kayu terbaik yang mereka mampu beli. Ukiran Jepara pada dindingnya menjadi saksi sunyi keberhasilan dan kesetiaan dua insan perantauan itu.
Namun cinta, kerja keras, dan kenangan tak cukup kuat menahan gergaji hukum.
Setelah Sitti Ani wafat, mulailah kisah menyakitkan itu. Keponakan-keponakan dari pihak almarhumah mengajukan gugatan waris, saat Jamaluddin belum wafat atau masih menempati rumah kenangan bersama istrinya almarhum itu. Ironisnya, saat proses hukum bergulir, Haji Jamaluddin masih hidup, sehat secara hukum, dan adalah pewaris sah atas harta Bersama istrinya.
Secara fiqh waris, suami adalah ahli waris utama dari mendiang istri jika tidak ada anak. Namun, pengadilan agama memutuskan lain. Sengketa berujung pada keputusan inkrah yang mengharuskan pembagian harta gono-giniโrumah dan lahan yang dibangun dan dibeli oleh Jamaluddin dan istrinyaโmenjadi dua.
Sebagian pihak menyebut, sebelumnya gugatan yang sama telah ditolak oleh Ketua PA terdahulu, namun entah mengapa, kini perkara itu bisa tembus hingga Mahkamah Agung. Isu “kongkalikong” antara kuasa hukum dan pengadilan mulai berhembus lirih dari mulut ke mulut.
Rumah ukirโyang telah menjadi semacam museum pribadi bagi kisah cinta dua manusia perantauanโdibelah menjadi dua bagian. Tiang-tiang kayu ulin dipotong dengan gergaji mesin. Sebagian rumah roboh, menyisakan bagian yang kini dihuni oleh Haji Jamaluddin. Separuh lainnya, entah akan jadi apa.
Warga setempat menyaksikan, sebagian dengan marah, sebagian dengan tangis. Beberapa pihak dari keluarga Jamaluddin sempat menghadang. Keributan tak terelakkan, bahkan terjadi aksi dorong dengan aparat dan penangkapan atas sejumlah warga yang membawa senjata tajam.
โRumah ini dibangun oleh tangan Jamaluddin sendiri, kenapa harus dibelah saat dia masih hidup?โ tanya seorang warga yang mengaku tidak mengerti dengan putusan pengadilan hingga merampas harta dari tangan pemiliknya sendiri.
Rumah ukir yang dibelah menjadi simbol telanjang atas kegagapan hukum kita membaca nilai-nilai di balik sengketa keluarga. Dalam banyak kasus waris, keadilan hukum cenderung berdiri kaku di atas pasal-pasal, tanpa melihat siapa yang benar-benar menanam dan siapa yang hanya memanen.
Dari kacamata sosial, Jamaluddin adalah pria yang telah membangun hidupnya dari bawah. Tak ada rekam jejak ia meninggalkan istrinya. Bahkan ketika saudara-saudara istrinya ikut ke Tarakan, ia ikut memberikan tambak, ikut menafkahi. Namun kini, saudara-saudara itulahโatau keturunan merekaโyang datang dengan surat kuasa, menggugat hak atas rumah yang tak pernah mereka pahat satu pun ukiran di dalamnya.
Dalam kacamata hukum, kita dihadapkan pada pertanyaan penting: Bolehkah harta seseorang dibagi ketika ia masih hidup dan belum melepaskan hak milik secara sah?
Kini, Haji Jamaluddin masih menghuni rumah separuh itu, ditemani kenangan dan sisa kayu-kayu berserak. Ia tak sendirian sepenuhnya. Seorang keponakannya yang tulus masih tinggal bersamanya. Ia juga sempat menikah lagi, meski dengan perempuan yang masih kerabat sang istri. Tapi tetap saja, hari-hari tuanya tidak lagi teduh.
Rumah itu kini tak hanya terbelah secara fisik, tapi juga menjadi simbol hati yang terbelahโantara rasa keadilan dan kenyataan pahit.
โSaya bangun bersama istri dari hasil jerih payah saya selama bertahun-tahun mengelola tambak di Kalimantan. Saat saya belum mati justru sudah berusaha direbut para pihak yang tidak punya jerih payah apa pun di dalamnya,โjelas Jamluddin.
Palu yang Menggores Nurani. Kisah ini bukan hanya tentang Haji Jamaluddin. Ini tentang banyak orang tua di negeri ini yang berhadapan dengan hukum yang dingin dan prosedural, ketika yang dibutuhkan hanyalah pengakuan atas kehidupan yang telah dijalani dengan lurus dan penuh cinta.
Rumah ukir itu kini hanya tinggal separuh. Tapi luka yang ditinggalkannya lebih dari sekadar setengah. Ia adalah potret tentang hukum yang kadang lebih tajam dari gergaji mesin.
Mungkin, yang dibutuhkan bukan hanya revisi perundangan, tapi refleksiโbahwa keadilan tidak bisa dibagi rata seperti luas tanah, dan bahwa cinta serta pengorbanan seharusnya tak boleh diukur hanya dengan surat dan stempel.
Sebab ketika hukum sudah membiarkan yang hidup disingkirkan demi hak orang yang sudah tiada, maka yang perlu diadili bukan lagi sengketa, tapi hati nurani kita bersama.
Sebuah rumah adat kayu ulin yang dulunya berdiri megah di Rea Timur, Polewali Mandar, kini hanya tinggal setengah. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tapi simbol cinta dan perjuangan hidup Haji Jamaluddin dan istrinya, Sitti Ani.
Dibangun dengan keringat selama tiga dekade merantau dan bertambak di Tarakan, Kalimantan Utara, rumah itu kini jadi saksi bisu dari sebuah tragedi sosial dan hukum : seorang suami yang ditinggal istrinya justru harus kehilangan separuh rumahnya karena digugat oleh keluarga almarhumah.
Rumah yang dulunya utuh, kini dibagi dua atas perintah pengadilan. Separuhnya masih ditempati Haji Jamaluddin, sementara separuh lainnyaโyang telah dipotong paksa dengan gergaji mesin oleh panitera pengadilanโdikuasai pihak pemohon, keluarga keponakan almarhumah istri.
Kisahnya bermula sejak tahun 80-an. Haji Jamaluddin menikah secara sirri dengan Sitti Ani, lalu hijrah ke Tarakan untuk hidup dari nol. Ia mulai bekerja membuat tambak milik orang lain. Dari jerih payah itu, ia diberi lahan 1,5 hektar yang kemudian ia kembangkan hingga menjadi ratusan hektar. Mereka hidup berdua tanpa anak kandung, namun banyak membantu keluarga Sitti Ani yang ikut ke Tarakan dan bahkan diberi bagian tambak.
Setelah kembali ke Sulawesi karena kondisi kesehatan istrinya yang mulai menurun, mereka membangun rumah adat kayu ukir dari kayu ulin, bahan yang sangat mahal dan langka. Rumah itu menjadi hasil akhir dari pengabdian hidup mereka bersama.
Namun setelah Sitti Ani meninggal dunia, rumah itu tidak tenang lama.
Keluarga dari pihak istriโtepatnya keponakan-keponakan Sitti Aniโmengajukan gugatan waris atas rumah dan lahan yang dibangun bersama. Ironisnya, gugatan ini dilayangkan saat Jamaluddin masih hidup dan menempati rumah tersebut. Padahal dalam hukum waris Islam, ahli waris pertama dari seorang istri yang tidak memiliki anak adalah suaminya.
Putusan pengadilan agama menyatakan rumah dan lahan dibagi dua antara Haji Jamaluddin dan pihak pemohon, Suardi cs. Putusan ini, menurut beberapa pihak, janggal karena sebelumnya sudah pernah ditolak oleh ketua Pengadilan Agama terdahulu.
Namun entah mengapa, perkara yang telah ditolak itu kemudian tembus hingga Mahkamah Agung dan dinyatakan inkrah (berkekuatan hukum tetap) per 3 Maret 2025.
Eksekusi Ricuh dan Luka Sosial
Ketika panitera pengadilan hendak membacakan putusan eksekusi, massa dari pihak termohon (Jamaluddin) menghadang. Kericuhan pecah. Polisi turun tangan. Sejumlah warga ditangkap karena membawa senjata tajam. Ada yang disebut sebagai โpreman bayaranโ di lokasi.
Ratusan orang terlibat aksi dorong. Rumah adat yang nilainya miliaran itu dipotong satu persatu tiangnya dengan gergaji mesin. Suara senso mengiris bukan hanya kayu, tapi juga harga diri seorang lelaki tua yang masih hidup dan melihat rumahnya diruntuhkan oleh putusan hukum yang terasa tak adil.
Kapolres Polewali Mandar, AKBP Anjar Purwoko, menyebut bahwa eksekusi dilakukan karena putusan telah inkrah. Meski panitera sempat melakukan mediasi, tuntutan dari pihak pemohonโ10 hektar tambak dan uang Rp4 miliarโtak disetujui oleh Jamaluddin. Maka, proses eksekusi pun dijalankan secara paksa.
Kedua belah pihak telah diberi kesempatan untuk melakukan upaya kompromi atau kespakatan namun keduanya taik menemukan kata sepakat, pengadilan akhirnya menempuh jalan eksekusi,โjelas kapolres.
Kini, rumah itu tinggal separuh. Haji Jamaluddin menempati bagian yang tersisa bersama sisa kenangan, sementara sisi lainnya menjadi puing-puing dari penggilingan hukum yang kaku.
Ketika Keadilan Dibagi Dua, Tapi Luka Tak Pernah Setengah
Haji Jamaluddin tak meminta lebih. Ia hanya ingin rumah yang dibangun bersama istrinya almarhumah tidak dijadikan medan rebutan oleh mereka yang tak pernah membangunnya. Ia ingin menghabiskan sisa usianya di rumah yang ia ukir sendiriโdengan tangan, cinta, dan keringatnya sendiri.
Tapi hukum berkata lain. Palu diketuk. Rumah dibelah. Separuh hidupnya dirampas secara sah oleh keputusan negara.
Yang tersisa kini adalah rumah dengan empat tiang berdiri di sisi utara. Setengah rumah, setengah lahan, dan hidup yang setengah hancur.
Rumah itu bisa dibagi, tanah bisa diukur, tapi luka dan martabat tidak bisa dibelah dua. Kasus Haji Jamaluddin menjadi cermin bahwa hukum bukan sekadar aturan tertulis, tapi harus berpihak pada keadilan substantif. Bukan hanya legalitas forma; yang kaku, tapi juga rasa, hati, dan kemanusiaan.
Ketika hukum mulai menjadi gergaji yang membelah kehidupan rakyat kecil, saat itulah nurani bangsa harus dihidupkan kembali. Sebab keadilan bukan hanya menang di pengadilan, tapi juga harus hidup di tengah masyarakatโtanpa menyisakan air mata di antara serpihan ukiran kayu ulin. (Edy Junaedi)