Desakan kebutuhan membuat warga penerima bedah rumah mau saja dana bantuan mereka dari Kementerian ini berkurang. Penyebabnya diduga karena ulah oknum dengan modus terstruktur.
Penelusuran Mandar News diketahui, dana yang harus mereka pergunakan untuk membedah rumah agar layak huni sebesar Rp6juta. Tapi faktanya, dana mereka berkurang rata-rata Rp.350ribu.
Dana tersebut langsung masuk ke dalam rekening masing-masing penerima. Dalam buku rekening penerima terekam jumlah itu, Rp6juta. Tapi jumlah ini tidak serta merta dapat dicairkan melainkan menunggu instruksi. Pencairan akhirnya dilakukan bertahap.
Karena kekurangan dana, beberapa rumah yang seharusnya sudah rampung dibedah menjadi rumah layak huni tapi masih saja seperti semula, tidak layak huni, lantaran belum dirampungkan pekerjaannya. Ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya karena tidak ada ongkos kerja dan tidak cukup bahan. Kedua alasan ini dikarenakan berkurangnya dana Rp.350ribu bahkan ada yang lebih dari itu.
Penerima bantuan di Lingkungan Battayang, Amma Ida mengungkapkan pada pencairan pertama sejumlah dana Rp3juta itu masih utuh diterima karena bertahan tidak mau dipotong. Tapi pencairan kedua tidak bisa lagi mengelak karena terus didesak Oleh pihak pengurus dan diancam tidak akan diberikan bahan Bangunan.
Karena alasan pemotongan Rp350 ribu tidak jelas maka Amma Ida meminta kuitansi, tapi pihak pengurus tak mau memberinya.
Dia mengaku, sampai konfirmasi ini dilakukan, rumahnya belum rampung dibedah karena belum ada upah tukang dan seandainya tidak ada pemotongan maka dana Rp350ribu itu dapat dimanfaatkan untuk biaya tukang.
Hal yang sama juga diungkapkan Nasir, Warga Battayang Dari kelompok yang di ketuai Muhammad Tahir. Nasir mengeluhkan potongan Rp350ribu karena membuatnya harus cari uang untuk upah tukang.
"Terpaksa fokus cari uang untuk upah tukang. Seharusnya uang yang diperoleh untuk kebutuhan sehari-hari tapi kali ini harus disisihkan untuk upah tukang dan terpaksa untuk kebutuhan hidup dikurangi," ungkap Nasir yang sehari-hari mengaku mengayuh becak.
Penerima bantuan di Lingkungan Battayang, beberapa diantaranya, mengaku belum menyelesaikan pengerjaan bedah rumah. Ini pun diakui ketua kelompok, Muhammad Tahir.
"Iya, mereka mengeluh tidak cukup dana untuk menyelesaikan bedah rumah akibat potongan Rp350ribu," sebutnya.
Kenapa bisa terpotong padahal dana tersebut langsung ditransfer ke rekening penerima ?
Pengakuan penerima menyebutkan, mereka memang memiliki rekening di BRI tapi dalam proses pencairan pemegang rekening hanya datang ke BRI melakukan tanda tangan selanjutnya dana tersebut diserahkan ke pengurus. Setelah itu dilakukan pertemuan-pertemuan yang diantaranya membicarakan diantaranya yang disebut dana keikhlasan. Dan akhirnya dana itu diberikan ke penerima selanjutnya dipergunakan kepentingan bedah rumah. Ini pada pencairan tahap I. Seharusnya yang berhak menerima dana sebesar Rp.3juta.
Kasus penerima bantuan bedah rumah di Lingkungan Battayang, beberapa penerima mengaku dua kali mnegeluarkan dana keikhlasan secara terpaksa. Pertama jumlah dana keikhlasan berkisar Rp.50 ribu hingga Rp100ribu. Keikhlasan kedua jumlahnya ditentukan sebesar Rp350ribu. Mereka menyebutnya keihlasan tapi wajib.
Pencairan tahap II lebih unik lagi. Sama pada pencairan tahap kedua, pemilik rekening hanya datang ke BRI menandatangani slip selanjutnya mereka pulang tanpa membawa uang. Bedanya pencairan tahap I, pada tahap kedua ini uang mereka ternyata ditransfer ke pengusaha bahan bangunan. Jumlah pencairan tahap kedua untuk penerima bedah rumah sebesar Rp3juta.
Tapi Penerima bantuan hanya berhak menerima bahan bangunan dari toko atau pengusaha yang menerima transfer dana dari rekening kategori orang miskin ini. Disini pun ada dugaan mark up harga untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Metode pencairan tahap II ini pun menyisakan masalah. Beberapa penerima bantuan sudah ada yang memesan bahan bangunan kepada pengusaha. Penerima bantuan memesan bahan bangunan setelah menerima pencairan tahap I sebelum ada ketentuan jika dana mereka harus diserahkan ke toko yang ditunjuk bukan oleh pemegang rekening.
"Saya berani mengambil pinjaman bahan bangunan karena sudah pasti ada dana untuk menebusnya, terbukti dengan rekening yang saya pegang ini di dalamnya tertulis angka Rp7juta dan sudah dicairkan Rp3juta," keluh salah seorang miskin penerima bantuan di lingkungan Pa’leo Kelurahan Pangali-ali.
Penerima bantuan kebingungan karena dana yang dinantikan sebesar Rp3juta untuk menebus bahan bangunan yang sudah terlanjur diambil, tapi dana tersebut ternyata harus ditransfer ke toko atau pengusaha yang telah ditunjuk, bukan atas rekomendasi penerima bantuan.
Ada juga penerima bantuan yang tidak puas dengan dengan kualitas bahan yang bangunan dari pengusaha penerima transferan itu. Dan ada juga penerima bantuan terpaksa harus mengeluarkan lagi dana keikhlasan.
Dana keikhlasan terpaksa dikeluarkan untuk dapat menarik uang dari tangan pengusaha yang menerima tranferan.
"Saya terpaksa ikhlas mengeluarkan uang agar uang saya bisa ambil dari pengusaha yang ditunjuk karena saya tidak membeli bahan bangunan darinya," ujar penerima bantuan yang lain.
Pihak kejaksaan negeri (Kejari) Majene mengaku melakukan petelidikan atas kasus yang menimpa orang miskin ini.
Kasi Intel Kejari Majene, Dwi Cipto Tunggal mengatakan Kejaksaan telah memanggil beberapa orang dari kelompok masyarakat penerima bantuan stimulan bedah rumah untuk dimintai keterangan.
Bahkan, lanjut Cipto, Kepala Dinas Perkimber,Efendi Gason, Kabid Perumahan Dan Pemukiman Syur Aryati, Ketua TPM Cahaya, sudah dimintai keterangan.
"Kami terus mengembangakn hasil pemeriksan dan masih akan memeriksa beberapa orang yang terkait masalah yang disinyalir pungutan liar ini dan tentunya sangat melukai hati warga," papar pejabat Kejari Majene yang akrab dipanggil Mas Cipto ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Majene Marsuki Nurdin mengaku prihatin atas pungutan liar dan modus pencairan dana stimulan untuk orang miskin ini. Dia mengaku banyak mendapat pengaduan dari warga penerima bantuan.
Dia juga menyesalkan adanya penunjukan kepada toko maupun pengusaha tertentu karena dianggapnya melangar undang-undang monopoli perdagangan. Selain itu, kata dia, modus seperti itu rentan mark up harga.(soemadi/rizaldy)