Pemerintah kabupaten Mamuju diminta untuk membangun tugu perahu Tradisional "Kulubelang" di anjungan Pantai Manakarra, Mamuju. Hal ini disampaikan oleh ketua Forum Pemuda Pemerhati Budaya Mamuju, Ashari Rauf kepada sejumlah wartawan, Rabu (28/09/16).
Menurut Ashari, perahu "Kulubelang" ini merupakan salah satu warisan budaya Mamuju yang harus dilestarikan oleh pemerintah setempat.
"Kami minta Pemkab Mamuju bisa merealisasikan ini Tahun 2017. Perahu Kulubelang ini adalah salah satu karya budaya yang diwariskan oleh leluhur kita di Mamuju, meskipun sebenarnya model perahu ini juga ada di beberapa daerah lain, tapi namanya tak sama," kata Ashari.
Perahu Tradisional itu, tambah Ashari, juga pernah dijanji oleh Bupati Mamuju sebelumnya, Suhardi Duka, agar dibangun di anjungan, berdekatan dengan tugu perahu Sandeq.
"Pak Suhardi Duka pernah menyampaikan saat meresmikan Anjungan, bahwa tugas Bupati dan wakil Bupati Mamuju (Habsi-Irwan) lah yang akan merealisasikan pembangunan tugu Kulubelang ini. Mudah-mudahan ini diperhatikan," sebut Ashari yang juga pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Mamuju ini.
Kata Ashari, jika hal itu direalisasikan oleh pemerintah daerah kabupaten Mamuju, maka dipastikan akan menambah nilai keindahan pantai Manakarra.
"Nilai estetikanya sangat tinggi. Orang yang berkunjung dan belum tahu pasti bertanya apa itu Kulubelang. Nah, inilah salah satu upaya untuk melestarikan warisan budaya kita," ucapnya.
Kulubelang menurut budayawan muda Mandar, Ridwan Alimuddin, seperti ditulis dalam blognya (https://ridwanmandar.blogspot.co.id/2015/09/setiap-sandeq-pasti-ada-kulubelang-nya.html) perahu jenis ‘kulubelang’ hampir ada semua di pantai Sulawesi Barat. Dewasa ini perahu tersebut tak digunakan lagi.
Dalam blog itu dijelaskan tentang ‘Kulubelang’. Kata “belang”, tulis Ridwan, digunakan oleh bahasa-bahasa lokal di Sulawesi Barat. Kata itu bisa berarti telanjang, tak berpakaian. Ketika kata tersebut digunakan dalam pembuatan perahu, “belang” berarti “hanya berupa kayu yang digali, tak ada tambahan apapun”.
Masih tertulis di blog Ridwan, Sinonim “belang” dalam dunia perahu adalah “balakang”. Dua kata tersebut jamak digunakan komunitas bahari di Sulawesi Barat, baik di Mamuju, Majene maupun Polewali Mandar.“Belang” adalah kayu bulat yang dikeruk bagian tengahnya lalu bagian bawahnya dimodel sedemikian rupa agar bisa stabil di perairan.
Itulah jenis perahu paling bersahaja, paling purba, paling kuno. Sama sekali tak ada tambahan, baik papan di sisi, cadik, maupun layar. Belakangan, dalam proses sejarah ribuan tahun, ketika si pengguna membutuhkan perahu yang bisa memuat lebih banyak barang, daya jelajah jauh, tak mudah dimasuki air, maka dipikir perlu ada tambahan papan di atasnya. Singkat kata, muncullah perahu bercadik, seperti pakur, olangmesa dan sandeq serta katitting.
Pada dasarnya sandeq tak bisa dipisahkan dari “belang”. Bisa dipastikan perahu sandeq ada “belang” dibawahnya. Tak ada “belang” sandeq tak bisa jadi. Kecuali kalau buat perahu ukuran besar dengan lambung yang lebar, tak perlu “belang”. Tinggal lunas di tengah lalu disusun papan-papan di kedua sisinya (“tobo”). Bagian bawah perahu sandeq adalah "belang".
Dalam tulisan di blog itu, Ridwan menyimpulkan, pada patung sandeq di depan “sign” Pantai Manakarra sebenarnya sudah ada “kulubelang”.
(rizaldy)