Majene, mandarnews.com – Junaedi (23) Mahasiswa Hukum dari Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) baru – baru saja diwisuda.
Videonya pun viral saat ia membawa bapaknya Asta (64) menghadiri wisudanya dengan menggunakan becak motor dan harus menempuh jarak hingga puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Lalatedzong, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene menuju Kampus Unsulbar yang berada di Kota Majene.
Namun, dibalik videonya yang viral ternyata perjuangannya sebelum berhasil sarjana menyimpan berjuta cerita pilu yang membuat hati teriris.
Anak terakhir dari lima bersaudara ini bercerita, saat masih duduk di sekolah dasar (SD) dirinya sudah ditempa untuk menjadi seorang pekerja keras, mandiri dan bisa membantu orang tuanya.
Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, melainkan karena kondisi perekonomian dari keluarganya tidak seberuntung pada orang – orang berada umumnya.
Junaedi atau akrab disapa Juned dibesarkan dari seorang rahim ibu yang sederhana. Ibu Juned Hasriana semasa hidupnya hanya seorang penjual ikan keliling kampung dengan menggunakan sepeda.
Sementara bapak Juned, Asta dulunya sewaktu masih kuat hanya seorang tenaga pikul. Namun usianya yang sudah lanjut hanya bisa tinggal dan beristirahat di rumah.
Inilah menjadi salah satu alasan mulai SD hingga SMP Juned harus memutar otak bagaimana caranya agar sambil bersekolah ia bisa meringankan beban orang tuanya.
Masuk di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) hal pilu yang dialami Juned tidak berhenti sampai disitu.
Lagi – lagi anak kelahiran 1999 ini harus memaksakan diri untuk bekerja keras.
Semasa SMA, saat hari libur ia bekerja menjadi seorang kuli bangunan.
Selesai SMA, Juned langsung melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Kondisi ekonomi yang dialami saat ini tidak membuatnya putus asa.
Juned kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di perguruan tinggi Universitas Sulawesi Barat. Ia diterima sebagai mahasiswa penerima bantuan bidikmisi.
2017 memasuki masa – masa kuliah. Juned meninggalkan tempat tinggal di desa dan memilih menetap di kota untuk mempermudah ia mengakses tempat kuliah.
Kondisi perekonomian pun makin ia pikirkan. Ia mulai berpikir, bagaimana agar sambil kuliah di kota, bisa bekerja dan tetap dan membantu perekonomian orang tua di kampung.
Meskipun ia masih mempunyai 4 saudara. Namun beberapa diantara saudaranya sudah menikah dan mempunyai keluarga masing – masing, sehingga sebagai anak laki – laki dan terakhir Juned tetap merasa mempunyai tanggungjawab untuk membantu orang tua.
Menurutnya, masa – masa awal kuliah, ia mendapatkan pekerjaan untuk menjaga warung kopi.
Pendapatan yang didapatkan, dipergunakan untuk biaya hidup di kota, sewa kos, perlengkapan kuliah dan disisihkan beberapa untuk orang tua di desa.
Tak bertahan lama di warkop karena warkop tutup. Ia pun kuliah sambil menjadi tukang ojek.
Menjadi seorang tukang ojek pun dilakukannya selama berbulan – bulan. Ia mengaku sama sekali tidak pernah merasa minder atau malu dengan profesinya.
Ia menyampaikan, dirinya saat ini, tak perlu ada yang ditutupi. Menurutnya, ia justru sangat bangga jika dapat dikenali sebagai dirinya saat ini.
Karena pendapatan tak seberapa, Juned pun mencoba – coba peruntungan. Ia mencoba bekerja di salah satu rumah makan di Majene.
Ia bekerja menjaga warung makan saat waktu di luar kuliah.
“Jadi kami bekerja di warung makan sip – sipan sama hal saat di warkop. Nanti waktu libur baru menjaga lagi,” kata Juned, yang ditemui Rabu (1/12).
Karena juga belum merasa cukup akan pendapatan yang diperolehnya. Juned kemudian membeli becak.
Ia kemudian beralih profesi menjadi seorang tukang becak. Hal ini dilakukan karena becak masih menjadi salah satu jenis kendaraan pilihan di Majene.
Berbulan – bulan pun ia harus jalani profesinya ini. Tiba semester 6. Pendapatannya yang mulanya cukup kini mulai turun drastis. Pasalnya saat ini, terjadi pandemi Covid-19.
Karena pembelajaran dilakukan secara virtual saat itu. Juned kemudian pulang kampung. Karena becak tidak terlalu disegani di desa – desa karena kondisi jalan yang terkadang menanjak.
Juned kemudian memodifikasi motornya menjadi becak motor. Pendapatannya lumayan ia rasakan saat menjadi tukang bentor di desa.
Tidak lama bisa merasakan hidup enak karena dapat kuliah sambil bisa tinggal bersama orang tua.
Pertengahan Januari 2021 kesedihan mendalam harus dialami Juned. Ibunya meninggal saat masa – masa gempa yang melanda Sulawesi Barat.
Ibu Juned meninggal tertabrak motor di masa genting saat gempa Januari lalu. Kesedihan mendalam pun dirasakan Juned.
Juned begitu sedih, karena sekitar 1 tahun lagi ia bakal menyelesaikan kuliahnya dan wisuda.
Padahal Juned pun mempunyai keinginan membawa kedua orang tuanya melihatnya diwisuda dan memperlihatkan kepada ibunya bahwa ia bisa memperoleh gelar sarjana hukum.
Meski demikian, niat untuk menjadi orang besar kelak nanti tidak pernah kendor dalam benak Juned.
Ia kembali bersemangat dan melanjutkan hidupnya. Di desa ia betah membawa bentor sambil kuliah virtual. Pendapatan yang ia peroleh lumayan tinggi. Terkadang Juned memperoleh Rp. 90.000 hingga Rp. 120.000 perharinya.
Selain itu, Juned juga beternak kambing. Ia memperoleh kambing melalui bantuan dari pemerintah desa setempat.
Akhir November kemarin pun Juned berhasil diwisuda. Ia sukses mendapat gelar sarjana hukum dengan IPK 3.60. Ia pun mengaku sangat bersyukur.
Salah satu bentuk rasa syukurnya adalah dengan membawa bapaknya menuju kota Majene menggunakan bentor untuk hadir di wisudanya.
Juned pun mendekorasi bentornya, dengan menuliskan Mahasiswa Unsulbar dan Hidup itu Keras.
Menurut Juned, bentornya itu pun menjadi salah satu simbol bentuk keberhasilannya bisa sarjana selain dari doa orang tua dan terkasih.
Ia menyampaikan, dengan bentor itu pula ia dapat menyelesaikan kuliah dan dapat membantu perekonomian keluarga.
Kata Juned langkah ke depannya ingin mencari pekerjaan dengan memaksimalkan lowongan pekerjaan dalam Daerah. Namun, jika sulit ia hendak mencoba peruntungan di kampung orang. Dan jika ada rejeki, ia ingin melanjutkan perjuangannya untuk S2.
Asta bapak Juned tak dapat membendung rasa harunya.
Ia begitu haru namun bercampur syukur dan bahagia karena anak laki – lakinya dapat menyelesaikan kuliah meski kondisi perekonomian keluarganya tidak mendukung.
“Kami sangat bersyukur karena anak kami dapat selesai. Namun sekaligus sedih karena ibu Juned tidak bisa melihat langsung keberhasilan anaknya bisa sarjana,” kata Asta.
Asta berpesan kepada Juned agar, ke depan lebih fokus dalam mencari kerja dan menuntut ilmu dan tidak terlalu memikirkan dulu masalah pacaran hingga betul – betul pantas.
Karena kata Asta, sejak dahulu Juned termasuk anak yang penurut terhadap orang tua, pekerja keras.
Ia juga berharap nantinya agar Juned nantinya bisa tetap menjadi pribadi yang baik, taat orang tua, agama dan selalu bersyukur.
Juned dulunya sekolah di SD 5 Tappagalung, Kecamatan Sendana, SMP 1 Sendana kemudian SMA 1 Sendana, lalu fakultas hukum Unsulbar.
(Mutawakkir Saputra)