Tanah longsor di Desa Bambangan, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene beberapa minggu lalu.
Majene, mandarnews.com- Dikepung bencana, siapkah mitigasi di Kabupaten Majene? Pertanyaan itu menjadi tema pada bazar dan diskusi publik yang diadakan oleh Aliansi Mahasiswa Sulbar yang setidaknya melibatkan 15 organisasi daerah Sulawesi Barat (Sulbar).
Kabupaten Majene sudah beberapa tahun terakhir sering mengalami bencana alam yang serius sehingga membuat sikap kepedulian para Aliansi Mahasiswa Sulbar untuk membuka ruang diskusi dengan mengharapkan hasil yang bisa memberikan sebuah solusi terhadap masalah bencana yang sering kali dihadapi oleh masyarakat Majene dan Mamuju.
Mitigasi bencana juga menjadi poin inti pada diskusi yang dilaksanakan tersebut. Kekhawatiran para mahasiswa Sulbar terhadap kondisi daerah yang seakan-akan bencana yang terjadi dapat menjadi agenda tahunan ketika tidak adanya penanggulangan serius yang dilakukan oleh pemerintah.
Ada empat tokoh dari beberapa bidang yang dihadirkan dalam diskusi publik tersebut sebagai pembicara perihal mengenai mitigasi bencana, baik secara umum maupun terkhusus di Majene.
Sebagai pembicara pertama ada Dr. Ir. Miswar Tumpu, ST, Mt selaku Dosen Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang banyak membahas mengenai pentingnya mitigasi dan adaptasi bencana alam dan potensi bencana di Sulbar.
Dr. Miswar juga menyinggung persoalan pentingnya literasi lingkungan sebagai kemampuan seseorang dalam memahami kondisi lingkungan di sekitarnya.
“Apalagi, masyarakat Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah akibat dinamika bumi sekaligus memiliki potensi bencana alam yang besar berupa gunung meletus, gempa, dan tsunami yang membuat masyarakat harus lebih memerhatikan persoalan literasi lingkungan,” ujar Dr. Miswar.
Ia pun membahas tentang intensitas bencana serta konsep bangunan yang dapat terminimalisir kerusakannya ketika ada bencana seperti gempa bumi.
Narasumber kedua merupakan seorang jurnalis Mongabay Indonesia bernama Agus Mawan yang banyak meliput berita bencana yang terjadi di Majene dan melakukan riset kondisi pada pasca bencana serta memerhatikan stigma masyarakat Majene yang terbangun mengenai persoalan bencana alam.
Bukan hanya bencana banjir dari pegunungan, Agus juga menjelaskan kondisi masyarakat Majene yang terkena dampak banjir pesisir pantai yang sering terjadi akibat volume air laut yang meningkat.
Sudah banyak tulisan yang dibuat oleh Agus perihal bencana yang sering terjadi di Majene, seperti tulisannya yang berjudul “Mendengar Orang-Orang Pesisir Sulawesi Barat” yang terinspirasi dari syair seorang kakek tua bernama Abdul Kadir dan tulisan yang berjudul “Linor” atau gempa yang menceritakan kondisi saat bencana Gempa Malunda terjadi di tahun 2021.
“Potensi bencana yang banyak di Sulawesi Barat serta pengaruh krisis iklim juga menjadi penyebab mengapa tingkat gelombang air laut semakin meningkat hingga terjadinya abrasi dan banjir rob di beberapa tempat di Majene,” kata Agus.
Pemerintah Kabupaten Majene tentunya harus dapat lebih siap siaga menghadapi bencana yang sulit diprediksi akan terjadi.
“Kabupaten Majene juga memiliki risiko tinggi terhadap bencana gempa bumi karena dipengaruhi oleh keberadaan Sesar Palu-Koro dan Sesar Saddang sehingga perlu adanya pembaharuan Recon (Rencana Contigention) setiap tahun dengan menyesuaikan kondisi dearah,” sebut Agus.
Narasumber ketiga adalah Sirajuddin F selaku Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Majene sekaligus menjadi perwakilan pemerintah daerah pada diskusi publik yang berfokus pada bencana yang terjadi di Majene.
Dalam proses mitigasi bencana di Majene, tentunya peran pemerintah daerah, khususnya di bagian BPBD diharuskan mampu bergerak lebih maksimal dengan melihat kondisi Majene yang pada saat ini telah dikepung bencana.
Siapkah mitigasi bencana di Majene? Itulah yang akan menjadi pertanyaan mendasar dengan melihat kinerja pemerintah daerah dalam melakukan penanganan saat pra-bencana, tanggap darurat, serta rehabilitas setelah bencana, sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Secara spontan Sirajuddin mengakui bahwa mitigasi bencana di Majene memang belum bisa dikatakan mampu, disebabkan koordinasi perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang kurang memerhatikan pihak penanggulangan bencana, yakni bagian BPBD sehingga membuat mereka sulit untuk maksimal dalam proses mitigasi bencana.
“Dana tak terduga yang diterima BPBD yang cenderung lama dan minim karena hanya ada pada saat bencana itu terjadi juga menjadi alasan mengapa konsep dan rencana penanggulangan bencana (RPB) juga sulit terealisasikan dengan baik,” ucap Sirajuddin.
Bahkan, terkadang BPBD hanya bekerja sesuai insting dalam menghadapi bencana, seperti saat gejolak virus Covid-19 yang begitu besar membuat mereka harus bekerja dengan insting tanggap bencana ketimbang menunggu anggaran yang cenderung lama dicairkan.
“Kurang jelasnya posisi legalisasi dan penganggaran RPB Kabupaten Majene juga membuat pihak tanggap bencana sulit untuk menerapkan konsep penanggulangan bencana seperti yang ada dalam RPB,” tutur Sirajuddin.
Sedangkan sumber pendapatan penanggulangan bencana sebagaimana dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 berasal dari; Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan
masyarakat.
“Yang dimaksud dengan masyarakat sebagaimana tercantum dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 ini adalah perseorangan, lembaga usaha, dan lembaga swadaya masyarakat, baik dalam dan luar negeri,” tukas Sirajuddin.
Yudi Iskandar yang merupakan pemerhati lingkungan selaku Koordinator Nasional Extanction Rebellion Indonesia didapuk menjadi narasumber keempat. Secara umum, Yudi membahas bencana yang dipengaruhi oleh krisis iklim secara global bagi seluruh wilayah di penjuru dunia, terkhusus Indonesia.
“Bencana yang sering terjadi akibat krisis ekologi juga dipicu oleh aktivitas industrialisasi dan menjadikannya sebagai kode merah bagi kehidupan manusia,” beber Yudi.
Di tahun 2021, sudah ada 8 juta masyarakat yang mengungsi dan menderita akibat krisis iklim yang terjadi. Dalam kebijakan internasional, kerangka kerja upaya penekanan pemanasan global (UNFCC) sudah jauh dibuat oleh Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sejak tahun 2005.
“Namun, sampai 2016 sulit tercapai kesepakatan hingga tahun 2021 kesepakatan akhirnya tercapai dan disambut baik karena dianggap dapat menghidupkan harapan bagi upaya pembatasan pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius,” ungkap Yudi.
Ia menyampaikan, bencana banjir pantai yang banyak terjadi di bagian pesisir Kabupaten Majene akibat gelombang air laut yang tinggi juga dapat dikaitkan dengan pengaruh krisis iklim yang makin besar. Jika temperatur bumi naik, begitu pula permukaan laut. Saat zaman es berakhir dan bumi menghangat, lapisan es mencair. Untuk itu, perlunya upaya penekanan pemanasan global yang dimulai dari hal kecil.
“Memang nyatanya kita tidak bisa pungkiri bahwa Pemerintah Kabupaten Majene dalam hal mitigasi bencana masih belum siap. Pengakuan BPBD yang merasa kesulitan saat menghadapi gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Malunda kemarin juga disebabkan karena ketidaktersediaannya anggaran sehingga harus meminjam ke pihak bank dan pengusaha,” imbuh Yudi.
Artinya, lanjutnya, Majene hari ini belum siap secara perencanaan mitigasi bencana untuk menghadapi risiko bencana selanjutnya yang bisa terjadi kapan saja. RPB sudah berada di pelukan pemerintah daerah, namun sayangnya penerapan dan penganggaran dana RPB Majene yang tidak jelas sehingga sulit untuk dimaksimalkan.
Beragam respons pun bermunculan dalam diskusi tersebut, di antaranya dari Sarman yang berharap pemaksimalan mitigasi bencana Majene, Andi Rivat yang mempertanyakan
mengapa pemerintah tidak memfokuskan mitigasi bencana mulai dari skala terkecil seperti desa-desa dan apakah ada pembebasan hutan liar dan alih fungsi lahan hutan lindung serta berharap ada upaya tindak lanjut dari hasil diskusi mitigasi bencana Majene dan penanggulangan kecelakaan laut yang sering terjadi pada nelayan Majene. Selain itu, ia juga menanyakan tentang langkah taktis yang perlu dilakukan Pemerintah Majene untuk menghadapi banjir Malunda.
Diskusi pun menghasilkan rekomendasi berupa: legalisasi dokumen RPB menjadi Peraturan Bupati Majene sebagai acuan dalam penanggulangan bencana, dengan melihat minimnya penganggaran dana pada penanggulangan bencana Majene, diminta agar ada penganggaran dana pemerintah daerah yang cukup untuk penanggulangan bencana Majene dengan melihat kondisinya yang sudah dikepung bencana, dan memaksimalkan keseriusan pemerintah daerah dalam penerapan mitigasi bencana Majene sampai ke desa-desa. (rilis dari Aliansi Mahasiswa Sulbar)
Editor: Ilma Amelia