Ilustrasi menggunakan AI
Selamat datang di era post-truth, masa di mana fakta tak lagi penting dan kebohongan sering kali dijadikan tamu kehormatan di meja makan opini publik. Di Indonesia, era ini bukan sekadar teori, melainkan kenyataan sehari-hari yang kita hadapi—di mana politik tidak lagi soal apa yang benar, tapi siapa yang bisa bikin orang lebih marah. Ya, kebenaran telah kalah oleh emosi dan narasi yang dibentuk berdasarkan kepentingan politik.
Lalu, bagaimana jurnalis kita—mereka yang dulu jadi penjaga gerbang kebenaran—menjawab tantangan ini? Apakah mereka bisa tetap menjaga integritas ketika tsunami hoaks dan politisasi melanda?
Fenomena Post-Truth dan Penyebaran Hoaks di Indonesia
Mari kita mulai dari fenomena post-truth itu sendiri. Menurut Ralph Keyes dalam bukunya The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004), kita hidup di masa di mana kebenaran bisa dibentuk seperti adonan roti: bisa diregangkan, diputar, atau bahkan dibakar menjadi abu tergantung siapa tukang rotinya.
Di Indonesia, hoaks bertebaran di mana-mana seperti virus flu musim hujan. Setiap kali ada isu politik panas, tiba-tiba muncul narasi fantastis yang membuat logika kita terengah-engah mengejar. Misalnya, pada Pemilu 2019, ada yang percaya bahwa 7 kontainer surat suara tercoblos tiba di Tanjung Priok. Kenyataannya? Hoaks belaka! Tapi di era post-truth, fakta hanya sekadar opini yang bisa diabaikan.
Menurut Merlyna Lim dalam artikelnya “Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia” (2017), media sosial memperparah keadaan ini dengan menciptakan “kandang algoritmik.” Di sini, orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar, membaca apa yang memperkuat keyakinan mereka, dan mengabaikan fakta yang tidak cocok.
Akibatnya, kita melihat bangsa yang terbelah: satu pihak yakin bahwa langit itu biru, sementara yang lain percaya bahwa langit adalah hologram yang diciptakan oleh konspirasi elit global. Dan jangan kaget jika argumen semacam ini sering kali diakhiri dengan kata-kata penuh emosi: “Anda belum sadar, ya?!”
Peran Media dalam Menghadapi Polarisasi Politik
Di tengah hiruk-pikuk ini, media massa seharusnya menjadi pemandu kebenaran, meluruskan narasi, dan memotong rantai hoaks. Tapi sayangnya, media juga bukan tanpa dosa. Beberapa media besar tampaknya lebih tertarik pada rating dan klik ketimbang integritas. Judul-judul bombastis bertebaran seperti nasi uduk pagi hari—”VIRAL!,” “HEBOH!,” “TERUNGKAP!”—membuat pembaca mengira mereka akan menemukan kebenaran, tapi yang ada hanya emosi tanpa substansi. Seperti iklan martabak yang menggoda tapi saat digigit, ternyata rasanya hanya angin.
Polarisasi politik di Indonesia tak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga masuk ke dalam ruang redaksi media massa. Ada media yang condong ke satu sisi, ada yang ke sisi lain, dan sayangnya, sedikit yang memilih berdiri di tengah. Jika jurnalis di masa lalu adalah “anjing penjaga” demokrasi, sekarang mungkin lebih tepat disebut sebagai “kucing peliharaan” yang hanya mengeong kalau diberi makan oleh tuannya—dalam hal ini, politisi atau pemilik modal.
Namun, masih ada harapan. Jurnalis-jurnalis berintegritas masih berjuang di tengah badai ini. Mereka memeriksa berusaha memeriksa dan meneliti fakta-fakta yang berseliwerang, menelusuri kebenaran, dan menghadirkan informasi yang layak dikonsumsi publik.
Sayangnya, di era ini, menjadi jurnalis yang jujur ibarat menjadi penjaga gawang di pertandingan bola dengan bola-bola api yang terus meluncur. Mereka harus terus berhadapan dengan opini-opini yang lebih berisik daripada fakta. Pengaruh Media Sosial…..