Selain sanksi, revisi Perda tersebut akan menitikberatkan batasan usia suatu pernikahan. Astusi menilai, ada ketidakkonsistenan pemerintah pusat dalam memberi batasan usia dewasa dan anak.
“Ada ketidakkonsistenan dalam batasan usia (penilaian, red) anak dan dewasa, Undang-Undang Pernikahan menyebut usia 16 hingga 19 tahun dikatakan dewasa dan dapat menikah, sedang di peraturan lain seperti lalu lintas, usia dewasa untuk mendapatkan SIM adalah 17 tahun, lalu di regulasi lain, usia di bawah 18 tahun masih menjadi tanggungan orang tua. Hal ini yang coba kami pertegas di Perda ini terkait batasan usia pernikahan,” tukas Astuti.
Mengenai Perda yang diperjuangkannya tersebut, Astuti mengaku telah menelaahnya selama tiga tahun sebelum didorong untuk kemudian dibahas agar mendapat kekuatan hukum tetap menjadi Peraturan Daerah.
“Saya bersama LSM dan aktivis perempuan telah mengkaji Perda ini selama tiga tahun dengan dana pribadi dan tanpa dukungan APBD. Kami melakukan dialog, penelitian, hingga sampling. Alhamdulillah, ini sudah memasuki fase pertama legislasi dan kami berharap dapat sesegera mungkin ditetapkan menjadi suatu produk hukum,” ungkap Astuti.
Dengan Perda ini, lanjutnya, diharapkan akan ada dukungan penguatan anggaran dalam program-program yang bisa meminimalisir pernikahan usia anak, sehingga nantinya berefek kepada penurunan angka anak putus sekolah, stunting, gizi buruk, kematian ibu, dan masalah sosial lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perceraian.
Reporter : Sugiarto
Editor: Ilma Amelia