Diskusi online, Kamis (29/4) malam yang digelar oleh IM3I.
Majene, mandarnews.com – Ikatan Mahasiswa Mandar Majene Indonesia (IM3I) melaksanakan diskusi online, Kamis (29/4) malam.
Kegiatan diskusi yang berlangsung sekira 100 menit ini dihadiri sebanyak 30 peserta yang berasal dari latar belakang mahasiswa, aktivis, dan anggota organisasi. Muh. Riyadh Ma’arif Koordinator Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) IM3I selaku moderator dan Muh. Ridwan Alimuddin seorang budayawan Mandar ditunjuk selaku pembicara utama dalam diskusi.
Diskusi dengan topik “Realisasi Konsep Desa Wisata: Membangun Daerah dari Desa” fokus membahas mengenai strategi pemanfaatan potensi-potensi kepariwisataan untuk dijadikan
sebagai desa wisata yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan, sejarah, dan ekonomi kreatif.
Menurut Ridwan, kunci dari pemasaran objek wisata agar cepat terkenal adalah “narasi” karena dengan narasi orang-orang bisa mengetahui keunikan-keunikan yang dimiliki oleh objek wisata.
“Keunikannya bisa diperoleh berdasarkan nilai kebudayaan, peristiwa
bersejarah, kelangkaan, dan panorama yang ditawarkan sehingga wisatawan tertarik untuk mengunjunginya. Contoh, perahu sandeq. Sandeq sangat terkenal karena narasi mengenai filosofi,
struktur unik, dan kecepatannya yang digadang sebagai perahu layar tercepat. Itulah sebabnya mengapa narasi itu sangat penting,” jelas Ridwan.
Kritikan kepada masyarakat Majene dan pemerintahan juga dilayangkan pada saat kegiatan diskusi berlangsung.
Kritikan tersebut diungkapkan oleh Divo Alam, mahasiswa Kepariwisataan yang menganggap bahwa pemerintah salah menyusun strategi dalam pengembangan objek wisata.
“Di lain sisi, kunci pariwisata itu adalah ‘daya tarik’ dan salah satu unsur penting daya tarik adalah keunikan atau ciri khas,” ujar Divo.
Kesalahan tersebut, lanjutnya, bisa ditemukan pada objek wisata Pantai Barane yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Ciri khas Pantai Barane dulunya terkenal karena pasir pantainya yang luas dan panjang sehingga anak-anak bisa bermain pasir, orang dewasa bisa ngobrol dan duduk santai sembari menikmati kelembutan pasir pantai, namun kini hilang akibat bangunan beton yang didirikan di sekitaran pesisir pantai.
Divo juga menegaskan bahwa ini adalah kesalahan fatal. Seharusnya pemerintah
mengklasifikasikan dan memproyeksikan dengan tepat bagaimana konsep pengembangan salah
satu objek wisata, salah satunya ialah pemilihan jenis bangunan untuk pengembangan objek wisata.
“Tidak boleh sembarangan karena idealnya bangunan objek wisata alam bersifat tidak permanen karena yang dikejar adalah minat masyarakat dan biasanya minat masyarakat itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman,” tambah Divo.
Pernyataan ini pun disepakati oleh Ridwan yang berpendapat jika ingin menarik wisatawan yang berasal dari luar kota, harus diberikan nuansa berbeda dari tempat asal mereka (wisatawan).
Pengembangan wisata Majene lebih sesuai ketika destinasi wisata menawarkan experience
sharing services, yaitu objek wisata menawarkan berbagai agenda kepada wisatawan untuk ikut serta dalam proses kegiatan dan proses pembuatan. Contoh: Pamboang terkenal dengan hasil tenunnya berupa sarung Mandar.
Para wisatawan dapat ditawarkan berupa program latihan singkat menenun dan juga bisa sambil belajar mengenai nilai-nilai filosofi kehidupan dalam pembuatan sarung tersebut.
“Kita tidak hanya memeroleh hasil dari produknya saja tetapi juga bisa
meraup keuntungan dari proses latihan tersebut. Kemudian, daerah Mandar, khususnya Majene terkenal dengan lopi Sandeq, namun selama ini perahu layar tersebut hanya bisa dinikmati
secara visual melalui festival-festival yang diadakan oleh pemerintah. Coba kita tawarkan jasa seperti memberikan kesempatan para wisatawan untuk merasakan sensasi naik perahu layar tersebut dan lebih bagus lagi kalau diagendakan dengan proses menangkap ikan ala masyarakat setempat dan masyarakat pesisir-pun juga bisa ikut membuat replika perahu sandeq yang kemudian ditawarkan ke wisatawan sebagai oleh-oleh kerajinan tangan khas masyarakat setempat yang tentu saja bernilai ekonomi,” tandas Ridwan.
Realisasi konsep mengenai “desa wisata” menurut Ridwan sebaiknya tidak hanya
berharap dengan keberadaan pemerintah, melainkan bagaimana menggerakkan pemuda-pemudi atau komunitas yang ada di setiap desa dengan ide kreatifnya membangun desanya.
Dalam upaya untuk memajukan kepariwisataan daerah berdasarkan kegiatan diskusi online diperoleh poin-poin utama sebagai berikut:
1. Mencari tahu lebih lanjut nilai-nilai yang terkandung atau yang menjadi ciri khas bagi tempat wisata tersebut kemudian dikemas dalam bentuk narasi menarik dan dipublikasikan melalui sosial media serta memahami identitas dari objek wisata yang akan dibangun sehingga tempat wisata tersebut memiliki keunikan tersendiri.
2. Menggandeng komunitas desa dalam pembangunan pariwisata, baik sebagai pengelola administrasi, perawatan objek, dan mengajak masyarakat untuk bersama membangun fasilitas penunjang kepariwisataan, seperti home stay, warung makan, pemandu wisata, dan agen travel.
3. Anggaran desa harus digunakan efektif dan efisien. Anggaran yang cukup besar seharusnya dapat membawa desa ke arah perubahan yang lebih baik, baik skala kecil maupun besar dan
pembangunan maupun pengembangan objek wisata dalam desa harus mengaitkan orang-orang kreatif dan kompeten yang mampu mengkaji dan memberikan solusi dari berbagai
aspek agar pembangunan dan pengembangan objek wisata tersebut tepat sasaran sesuai dengan nuansa desa tempat wisata tersebut.
4. Mengadakan pelatihan khusus bagi pengelola objek wisata di desa, baik itu penyelenggaranya dari pemerintah, golongan akademisi, ataupun organisasi atau lembaga yang berkompeten dalam hal ini. Pelatihan dapat berupa pengelolaan administrasi, cara mempromosikan, bagaimana memandu wisatawan dengan baik, dan merawat lingkungan fisik objek wisata.
5. Minimal menjadi turis di daerah sendiri. Maksudnya adalah ikut
berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata daerah, contoh kecilnya adalah ketika ingin liburan bersama keluarga tidak perlu lagi keluar kota untuk berlibur karena banyak objek
wisata yang dapat dikunjungi di Majene.
“Terkhusus bagi pemerintah, sebaiknya jika ada pertemuan berupa rekreasi sebaiknya diadakan di tempat wisata dalam daerah saja, tidak perlu
keluar kota karena ini juga bisa dijadikan sebagai upaya promosi yang diharapkan bisa menular ke warga Majene,” tutup Ridwan. (Mutawakkir Saputra)
Editor: Ilma Amelia