
Di sinilah, tambahnya, RUU Omnibus Law hadir dengan mengedepankan keadilan bagi rakyat, tidak serta merta mengenakan sanksi pidana di depan.
“Omnibus Law menolong rakyat dengan memberikan kepastian usaha dari kegiatan dalam kawasan hutan yang telah dipastikan aspek legalnya. Contoh kecil saja, masalah rakyat yang bertahun-tahun di Taman Nasional Tesso Nilo tidak selesai, bisa selesai dengan RUU Omnibus Law ini,” beber Bambang.
Ia mengemukakan, RUU Omnibus Law juga menjadi langkah maju pemerintah untuk harmonisasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
“Karena pemerintah berkewajiban memberikan kepastian hukum, kepastian berusaha rakyat, serta kepastian hukum antara pemberi izin dan penerima izin,” ungkap Bambang.
Selain kewajiban menjaga aspek kelestarian lingkungan, dipaparkan Bambang, pemerintah juga berkewajiban menjaga aspek kepastian keberlangsungan usaha.
“Intinya, RUU Omnibus Law mengedepankan kecepatan pelayanan tanpa mengabaikan penegakan hukum yang tegas. Melalui Omnibus Law, lingkungan hidup tetap dijaga ditandai dengan kepastian hukum berusaha,” imbuh Bambang.
RUU Omnibus Law saat ini telah diserahkan pemerintah ke DPR. Bambang menyampaikan, nantinya semua elemen masyarakat dapat menyimak, mengikuti, mengkritisi, dan melihat struktur hukum yang dibangun dalam pasal per pasal.
“Membaca RUU Omnibus Law harus utuh dengan melihat keterkaitan antara pasal per pasal. Kekhawatiran ada penghapusan pasal di RUU juga tidak sepenuhnya benar, karena nantinya kunci penting diatur di PP, bahkan sampai ke Permen. Sangat berlapis disiapkan untuk mengawal kepentingan rakyat,” tandas Bambang.
KLHK sendiri berkepentingan pada pembahasan RUU Cipta Kerja terutama pada Pasal UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2009, dan UU Nomor 18 Tahun 2013.
Pada ketiga UU tersebut terdapat pasal yang dilakukan penyesuaian norma, penghapusan norma, dan penambahan norma baru dalam RUU Omnibus Law. (rilis KLHK)
Editor: Ilma Amelia