Share screen data penanganan kasus perempuan oleh Justin Anthonie
Jakarta, mandarnews.com – Tingkat perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap perempuan saat ini masih menjadi masalah klasik, terutama di masa pandemi yang mengakibatkan terbatasnya akses interaksi langsung. Berbagai upaya untuk menekan angka-angka tersebut menjadi perbincangan hangat dalam diskusi dan media gathering virtual yang diselenggarakan oleh Institut Lingkaran Pendidikan AlternatifĀ (KAPAL) Perempuan dengan nomor jurnal dan mitra strategisnya pada Senin (16/8).
Selama lima tahun, lembaga advokasi perempuan yang berdiri sejak 8 Maret 2000 itu membangun kerja sama dengan Jaringan Equal Measure (EM2030) dalam program membangun gerakan advokasi berbasis data untuk pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)Ā yang bertujuan pada penghapusan perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan. Program ini diagendakan berjalan selama 5 tahun.
KAPAL Perempuan turut menggandeng lembaga-lembaga lokal. Saat ini, Institut KAPAL Perempuan bekerjasama dengan LPSDM (Nusa Tenggara Barat), KPS2K (Jawa Timur), Kartini Manakarra (Sulawesi Barat) dan, YKPM (Sulawesi Selatan). Berbagai capaian dan inisiatif berhasil dikembangkan dalam upaya mencegah kekerasan berbasis gender, terutama perkawinan anak di masa pandemi ini.
Dalam laporan EM2030 tahun 2019 dalam SDGs Gender Indeks, Indonesia berada di peringkat 69 dari 129 negara dan di tingkat 11 dari 23 negara di tingkat regional Asia Pasifik. Secara global, menurut SDGs Gender indeks, tidak ada satu pun negara yang kesetaraan gendernya dalam posisi aman.
Di antara faktor yang menyebabkannya adalah belum memadainya implementasi Undang-undang (UU) Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan lambannya pengesahan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, intervensi program, anggaran, dan kesadaran publik. Pandemi Covid-19 ikutq memperparahnya.
Laporan United Nations Population Fund mempredikasi beberapa tahun ke depan terjadi peningkatan 13 juta anak dan lonjakan besar di negara-negara yang tingkat perkawinan anaknya tinggi, termasuk Indonesia.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) mengungkapkan, catatan kenaikan kasus di Pengadilan Agama tahun 2017 berjumlah 13.095 perkara, 13.815 perkara tahun 2018, 24.864 perkara tahun 2019, dan 33.664 kasus hanya dari Januari-Juni 2020.
Kondisi ini menunjukkan peringatan keras bahwa deretan angka tersebut menyangkut ancaman masa depan dari risiko lost generation, memburuknya kesehatan perempuan, pendidikan anak perempuan, feminisasi kemiskinan, dan merosotnya kualitas hidup perempuan.
Meski begitu, muncul inisiatif-inisiatif organisasi perempuan dan perempuan dari kalangan akar rumput untuk menangani dampak pandemi yang kurang mendapatkan perhatian semua pihak, di antaranya masalah perkawinan anak, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat dan semakin berlipat kerentanannya.
Anggota sekolah perempuan desa Sukadana Kabupaten Lombok Utara dari latar belakang anggota Majelis Keramah Adat Desa (MKAD) Saraiyah bercerita terkait pendampingan kasus pelecehan seksual yang diderita anak perempuan berumur 7 tahun di Lombok Utara.
āSaat saya sedang menuju desa Mumbulsari, Lombok Utara, terjadi pelecehan seksual terhadap anak yatim berumur 7 tahun. Saya minta tolong bantuannya ya, lagi mencari pelaku dan anaknya kini saya bawa. Kasusnya menyedihkan sekali. Eh, baru sampai rumah anaknya sakit lagi. Selama ini, bapaknya sering marah dan pernah memukul dan mencaci maki. Kondisi anak merasakan ketakutan saat bapaknya marah dan pulang. Tapi saya tetap semangat, bekerja membantu masyarakat. Meskipun awalnya sejumlah kalangan mencibir yang saya lakukan,” ujar Saraiyah.
Sementara itu, Koordinator Advokasi dan SDGs Institut KAPAL Perempuan, Justin Anthonie menyatakan dalam āPenelitian Perkawinan Anak di Kabupaten Bogorā oleh Institut KAPAL Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) 2019, strategi advokasi berbasis data yang teritegrasi dengan pemberdayaan perempuan dapat menjadi pendorong kebijakan dan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan perkawinan anak.
“Hal ini penting karena masih kuatnya budaya yang menganggap perempuan āterlambatā menikah adalah aib,” urai Justin.
Bahkan, saat ini di Indonesia berkembang kelompok yang mengampanyekan untuk mempercepat perkawinan di usia muda. Penyadaran masyarakat ini juga dilengkapi dengan penguatan kapasitas untuk menangani kasus-kasus perkawinan anak melalui pendidikan kesadaran hukum untuk komunitas dalam penanganan kasus perkawinan anak, bekerjasama dengan KPPPA pada 25-26 Agustus 2020 dan 1-2 September 2020.
Di tingkat global, Monitoring and Evidence Generation for Change Regional Coordinator EM2030, Aarushi Khanna menambahkan, jaringan EM2030 telah merangkum 51 indikator peka gender untuk 14 dari 17 tujuan berkolaborasi dengan 10 organisasi mitra di 129 negara, salah satunya Institut KAPAL Perempuan.
Secara umum, skor indeks rata-rata 129 negara mewakili 95% dari perempuan dan anak perempuan dunia berada di angka 65,7 dari skor 100. Dari sini, kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak masih menjadi masalah global serius.
“Dari 129 negara yang masuk dalam perjanjian belum ada negara yang mencapainya untuk tujuan 2030 dalam SDGs. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah kita masih ketinggalan dalam data terkait gender,” kata Aarushi.
Ia pun mengingatkan negara-negara untuk terus menciptakan alternatif demi mendorong percepatan pendataan. Meski begitu, menurutnya saat ini Indonesia memiliki tren baik dalam kesetaraan gender di tingkat global.
Untuk kawasan Asia-Pasifik masih dalam capaian tengah, khusus indonesia berada di urutan 73 dari 129 negara. Indonesia punya angka rendah di sejumlah sektor, namun masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia-Pasifik lainnya.
Reporter: Sugiarto
Editor: Ilma Amelia