Keluarga korban pembantaian Westerling di Galung Lombok menuntut Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh untuk menetapkan 1 Februari sebagai hari berkabung provinsi, di Makam Korban 40.000 jiwa,Senin (1/2/2016) siang kemarin.
Hal ini dibacakan Thalib Bandro dalam bentuk rekomendasi, salah satu keluarga korban pembantaian. Setidaknya enam poin rekomendasi yang dihasilkan dalam acara mengenang Pembantaian Galung Lombok 1 Februari 1947. Rekomendasi tersebut seperti mengusulkan kepada gubernur untuk menetapkan 1 Februari sebagai hari berkabung provinsi.
"Kami mengusulkan kepada Gubenur Sulbar agar segera menetapkan 1 februari sebagai hari berkabung di daerah Provinsi Sulbar dan mewajibkan semua instansi pemerintah dan swasta untuk memperingatinya," kata Thalib.
Selain itu, kelurga korban menuntut agar Pemprov Sulbar mendukung Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menuntut Belanda mengakui secara de jure bahwa tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
"Apabila diabaikan maka rakyat Mandar mengajukan kepada pemerintah RI agar hubungan diplomatik yang janggal memerintah kerajaan belanda ditinjau kembali atau diputuskan." katanya.
Peristiwa pembantaian di Galung Lombok tanggal 1 februari 1947 termasuk pembantaian etnis atau genosida,pembantaian etnis Mandar yang termasuk salah satu pembantaian etnis terbesar di dunia.
"Apabila diabaikan maka rakyat Mandar mengajukan kepada pemerintah RI agar hubungan diplomatik yang janggal memerintah kerjajaan belanda ditinjau kembali atau diputuskan," kata Thalib.
Tak hanya itu, keluarga korban juga menuntuk kepada Pemda Majene, Pemda Polewali Mandar dan Pemprov Sulbar untuk melakukan renovasi pembangunan kembali kompleks makam korban 40.000 jiwa dan menjadikan makam ini sebagai destinasi wisata sejarah di Sulbar.
Menanggapi rekomendasi tersebut, Gubenur Sulbar, Anwar Adnan Saleh mendukung penuh atas segala upaya penuntutan utang kehormatana terhadap Belanda.
"Semua usulan dari keluarga korban akan ditindak lanjuti. Seperti penetapam hari berkabung, renovasi makam dan perbaikan akses jalan. Insya Allah akan diperbaiki 2016 ini. Saya akan ajukan ke DPRD. Mengenai masalah hubungan diplomatik, itu urusan pemerintah pusat," katanya.
Adnan Saleh juga mengajak kepada Pemda Majene, Pemda Polman dan DPRD Sulbar untuk bersinergi memperhatikan makam pahlawan ini. "Insya Allah tidak ditolak, disini sudah ada wakil ketua DPRD," kata Adnan.
Sementara ketua KUKB, Batara Richard Hutagalung menjelaskan, sebelumnya peringatan pembantaian di Galung Lombok itu tanggal 11 Desember. Namun, menurutnya itu adalah hal yang salah.
"Kalau tanggal 11 Desember itu awal masuk Westerling di Sulawesi. Kalau di Galung Lombok itu tanggal 1 Februari 1947," ungkapnya.
Menurut Batara, peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusian. Tragedi yang membantai ratusan warga namun hingga saat ini tidak diakui oleh Belanda sebagai kejahatan perang. Kejahatan perang tersebut masuk dalam kategori kejahatan perang yang tidak kadaluarsa menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
"Ini bukan saja pelanggaran HAM tapi kategori yang ditetapkan dewan keamanan PBB kasus yang tidak ada kadaluarsanya itu adalah 4 kejahatan, pembantaian etnis, perang, atas kemanusiaan dan agresi," tegas Batara.
Batara mengungkapkan, hingga saat ini pihak Kerajaan Belanda tidak ingin mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda takut mengakuinya salah satunya karena peristiwa pembantaian di Galung Lombok yang dilakukan dua tahun setelah Indonesia merdeka.
"Galung Lombok inilah salah satu alasan Belanda takut untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 karena apabila diakui maka yang dilakukan Belanda harus mengakui agresi milter yang telah dilakukan dan itu kejahatan perang dan lebih parah lagi ini kejahatan geosininda, membantai etnis Mandar dan kejahatan paling tertinggi dan paling ditakuti Belanda," kata Batara.
Saat ini, KUKB sementara dalam proses pengurusan menuntut Belanda untuk mengembalikan kehormatan Indonesia. Menuntut Belanda untuk meminta maaf kepada keluarga korban. Kasus ini akan diangkat ke dunia internasional seperti kasus di Rawa Gede.
"Kita menetapkan target, peringatan ke 70 kita harus memaksa seperti di Rawa Gede, Duta Besar Belanda harus hadir disini dan minta maaf, kita butuh waktu satu tahun untuk diangkat ke tingkat intenasional," katanya. (Irwan)